 |
Ushul Fiqh; Metode dasar kajian hukum Islam |
Oleh :
Roni
Nuryusmansyah
Sejak
lama, untuk mempermudah para penuntut ilmu memperdalam ilmu agama yang mulia
ini, para ulama salaf telah menggariskan usul atau dasar di setiap disiplin
ilmu. Di dalam ilmu tafsir, ada usul
tafsir. Di dalam ilmu hadis, ada pula usul hadis. Begitu pula di dalam disiplin
ilmu fikih, kita mengenal usul fikih.
Usul fikih, perpaduan dua kata yang
akrab bagi para penuntut ilmu. Banyak di antara kita yang mungkin mengetahui eksistensi
usul fikih sebagai salah satu disiplin ilmu agama. Akan tetapi, sedikit dari
kita yang mendalami ilmu yang satu ini. Salah satu faktornya adalah minimnya
pengetahuan kita terhadap urgensi disiplin ilmu yang lahir 12 abad silam ini.
Padahal, jika kita menyelam lebih dalam, kita akan menyadari bahwa ilmu usul
fikih sangatlah penting, terutama untuk mengkaji dan mendalami fikih yang
notabene selalu bersinggungan dengan praktik sehari-hari lebih jauh lagi.
Oleh sebab itu, tak ada salahnya
dalam kesempatan kali ini, kita akan mencoba mengenal ilmu usul fikih, baik
makna, cakupan, urgensi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Diharapkan
setelah mengenalnya, kita tergerak untuk lebih bersemangat mempelajarinya,
mendalaminya sedemikian rupa, atau bahkan menjadi ahli di bidangnya.
Makna Usul Fikih
Untuk mengetahui makna usul fikih,
ada baiknya kita terlebih dahulu mengurainya menjadi dua kata: usul dan fikih.
Usul adalah kata serapan dari bahasa
Arab yaitu ushul, bentuk plural dari ashl, yang berarti dasar, asas, pokok,
atau fondasi. Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا
كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
“Tidakkah engkau perhatikan
bagaimana Allah mengumpamakan kalimat yang baik seperti pohon yang baik:
‘akarnya’ kuat dan cabangnya menjulang tinggi ke langit.” (QS. Ibrahim 24).
Di dalam ayat ini, kata ashl, yang
merupakan bentuk tunggal dari ushul dipakai untuk menjelaskan makna fondasi
pohon, yaitu akarnya.
Di dalam istilah, usul memiliki
beberapa makna. Di antaranya adalah dalil, pendapat yang paling kuat, kaidah,
dan hukum asal.[1] Makna ini tergantung konteks kalimat di mana kata usul
tersebut ditempatkan.
Sedangkan fikih atau fiqh dalam
bahasa Arab merupakan bentuk mashdar (kata benda yang bermakna kata kerja) dari
faqiha-yafqahu yang berarti memahami, mengerti, mengetahui, atau yang semakna
dengan itu. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Musa ‘alaihissalam yang
memanjatkan doa,
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي (*) يَفْقَهُوا
قَوْلِي
“Dan lepaskan kekakuan dari lisanku,
agar mereka ‘memahami’ perkataanku.” (QS. Thaha: 27-28)
Akan tetapi sebagian ulama
mengkritisi makna ini. Mereka berpendapat fikih tak sekadar memahami atau
mengetahui saja, akan tetapi memahami dengan pemahaman yang dalam, bukan
memahami secara global. Jadi, seorang yang hanya memahami saja tidak dikatakan
seorang yang fakih.
Dalam istilah, fikih berarti suatu
disiplin ilmu yang membahas hukum-hukum syariat yang berupa amal perbuatan
disertai dengan dalil-dalil yang terperinci.[2] Oleh sebab itu, fikih tidak
membahas hukum akli dan adat. Fikih tidak pula bicara permasalahan akidah
semisal tauhid, dalam konteks pengertian fikih menurut istilah ini.
Setelah mengetahui makna dua kata di
atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa usul fikih adalah ilmu yang membahas
dalil-dalil fikih secara global dan mengupas metode dalam menarik hukum dari
dalil-dalil tersebut, serta kondisi orang yang menarik hukum tersebut.[3]
Sehingga dapat kita uraikan secara
garis besar usul fikih mencakup tiga pembahasan:
Dalil-dalil syar’i, baik yang
disepakati eksistensinya, seperti Alquran, sunah, ijmak, dan kias, maupun
diperselisihkan eksistensinya oleh para ulama, semisal istish-hab, perkataan
sahabat, syariat sebelumnya, istihsan, dan mashalih mursalah.
Metode dalam ber-istinbath atau
ber-istidlal, yaitu menarik hukum syar’i dari dalil tersebut. Semisal
mengetahui lafal amr-nahy (perintah-larangan), nasih-mansukh
(penganulir-dianulir), ‘am-khash (umum-khusus), muthlaq-muqayyad
(mutlak-terikat), mujmal-mubayyan (global-dirinci), manthuq-mafhum
(tekstual-implisit), dan lafal lain yang berguna dalam ber-istidlal.
Kondisi seorang mujtahid yang
beristidlal, termasuk membahas pertentangan dalil, bagaimana menguatkan
pendapat, seputar fatwa, juga bicara mengenai taklid, dan lain sebagainya.
Untuk memudahkan kita memahami usul
fikih, ada baiknya kita menggunakan metode mind map atau peta pikiran, serta
analogi, yang acap kali dipraktikkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ketika menggambarkan suatu hal kepada para sahabatnya.
Kita gambarkan usul fikih sebagai
sebuah pohon yang besar dan berbuah. Buahnya matang dan siap dipetik. Lalu
datang seseorang yang mencoba untuk memetik buah tersebut. Inilah gambaran usul
fikih secara sederhana.
Pohon tersebut ibarat sumber hukum
di dalam Islam, yaitu Alquran, sunah, ijmak, dan qiyas. Sedangkan buah pohon
itu adalah hukum itu sendiri, yakni wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram.
Orang yang datang untuk memetik buah itu adalah seorang mujtahid. Ia ingin
memetik buah berupa hukum dari pohon yang merupakan sumber hukum. Terakhir,
cara orang tersebut memetik buah adalah metode dalam mengeluarkan hukum suatu
permasalahan dari sumber hukum itu sendiri, yang sudah kita singgung sebelumnya
sebagai istidlal atau istinbath. Nah, usul fikih adalah disiplin ilmu yang
membahas itu semua: pohon, buah, orang yang memetik buah, serta cara orang
tersebut memetik buah.[4]
Sejarah Ilmu Usul Fikih
Sebagaimana disiplin ilmu lainnya,
usul fikih pun mengalami proses sejarah yang cukup panjang, sejak muncul berupa
pengetahuan, kemudian dibukukan dan menjadi disiplin ilmu yang mandiri, hingga
saat ini.
Sejatinya, usul fikih sudah ada di
zaman Nabi. Para sahabat sudah mengenal bagaimana langkah yang digunakan dalam
mengeluarkan hukum dari suatu dalil. Para sahabat sudah mengetahui adanya kias,
bisa membedakan lafal yang umum dan yang khusus, serta cabang-cabang disiplin
ilmu usul fikih lainnya. Semua itu mereka pelajari langsung dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, dari sabda-sabda beliau, dari praktik beliau,
penjelasan beliau terhadap ayat-ayat Alquran, dari tanya jawab bersama beliau,
dan lain sebagainya. Hanya saja, pada masa tersebut, usul fikih sebagaimana
disiplin ilmu lainnya belumlah menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri karena
tidak ada keperluan untuk hal itu, mengingat sahabat adalah orang yang berilmu
dalam hal tersebut.
Sampai berlalu puluhan tahun, atas
kehendak Allah, Imam Syafi’i berhasil melahirkan disiplin ilmu usul fikih.
Adalah Ar-Risalah, megakarya Imam Syafi’i yang memelopori lahirnya usul fikih.
Kitab yang awalnya ditujukan kepada Abdurrahman bin Mahdi itu disebut-sebut
sebagai kitab induk di dalam disiplin ilmu usul fikih.
Ada yang berpendapat bahwa yang
pertama kali menyusun poin-poin ilmu usul fikih ke dalam satu pembahasan adalah
Abu Yusuf, sahabat Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, karya beliau tersebut tidak
sampai ke tangan kita, berbeda dengan karya Imam Syafi’i yang disebarkan oleh
murid sekaligus sahabat beliau, Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady hingga masih
terjaga hingga saat ini.[5]
Di masa ini, mayoritas fukaha, ulama
di dalam ilmu fikih, memiliki dua metode yang berbeda di dalam proses
belajar-mengajar. Satunya di kenal sebagai madrasah al-hadits, yang berpusat di
Madinah, bersama Imam Malik, pengarang Al-Muwaththa’. Satunya disebut madrasah
ar-ra’yi, yang berada di Irak, bersama murid-muridnya Imam Abu Hanifah.
Madrasah al-hadits unggul dalam hal periwayatan hadis karena Madinah merupakan
ranah turunnya wahyu dan tempat tinggalnya sahabat. Sedangkan madrasah ar-ra’yi
unggul dalam hal berpendapat, beranalisis, dan berlogika karena hadis-hadis
yang sampai kepada mereka banyak yang palsu dan tidak memenuhi kriteria kesahihan
hadis menurut mereka. Meskipun begitu, keduanya sepakat akan wajibnya berpegang
terhadap Alquran dan sunah dan tidak boleh mendahulukan akal maupun logika di
atas keduanya.
Lalu muncullah Imam Syafi’i, murid
dari Imam Malik dan Muhammad bin al-Hasan, sahabat Imam Abu Hanifah, yang
mencoba menggabungkan kedua metode ini. Ia menggabungkan fikih Imam Malik di
Madinah, fikih Imam Abu Hanifah dari sahabatnya, Muhammad bin al-Hasan, serta
fikih ulama-ulama Syam dan Mesir. Ia juga menambahkan metode penduduk Mekah
yang unggul dalam tafsir Alquran, sebab turunnya ayat, bahasa Arab, serta adat
mereka.
Akhirnya, Imam Syafi’i merumuskan
usul dalam ber-istinbath, kaidah dalam beristidlal, dan patokan dalam
berijtihad. Imam Syafi’i menjadikan ilmu fikih dibangun di atas usul yang
tetap, bukan dari fatwa tertentu. Dengan usul fikih, beliau telah menampakkan
substansi dan hakikat dari fikih itu sendiri. Beliau menjadi perintis ilmu usul
fikih, yang kemudian diikuti dan disempurnakan oleh ulama setelahnya.
Imam Ahmad, murid dari Imam Syafi’i
berkata, “Dahulu, fikih itu terkunci, sampai Allah membukanya melalui
Syafi’i.”[6]
Di lain kesempatan, beliau juga
mengatakan, “Jika bukan karena Syafi’i, niscaya kami tidak mengenal fikih
hadis.”[7]
Setelah berlalu masa-masa tersebut,
banyak ulama yang mengarang kitab tentang usul fikih. Sebut saja Al-Khatib
al-Baghdadi dengan Al-Faqih wa al-Mutafaqqih, Imam Ghazali dengan Al-Mustashfa,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan karya-karyanya, Ibnul Qayyim dengan I’lam
al-Muwaqqi’in, hingga Ibnu Qudamah dengan Raudhah an-Nazhir yang diadopsi dari
karya Imam Ghazali, dan masih banyak lagi kitab usul fikih lainnya.
Cakupan Ilmu Usul Fikih
Telah dibahas sebelumnya, bahwa ilmu
usul fikih itu secara garis besar mencakup hukum syar’i beserta dalil sumber
hukum itu sendiri, cara mengeluarkan hukum dari dalil yang ada, serta
penjelasan seputar mujtahid dan yang berkaitan dengannya.
Adapun jika dirinci, maka kita dapat
uraikan sebagai berikut:
Hakikat ilmu usul fikih, seperti
tulisan ini, membahas pengertian usul fikih, sejarahnya, cakupannya,
urgensinya, dan hal-hal lain mengenai usul fikih itu sendiri.
Hukum syar’i, melingkupi hukum
taklifi semisal wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram. Bukan hukum akli dan
bukan pula hukum adat.
Seputar mujtahid atau dalam hal ini
disebut pula mustadlil atau mustanbith, yang menarik suatu hukum dari suatu
dalil.
Taklif dan mukalaf, mencakup apa
saja syarat seseorang manusia dibebani syariat, dan hal-hal lainnya.
Illah (sebab) adanya suatu hukum.
Sumber hukum yang disepakati ulama,
mulai dari Alquran, sunah, ijmak atau konsensus ulama, hingga kias.
Sumber hukum yang diperselisihkan
ulama, seperti istish-hab, perkataan sahabat, syariat sebelumnya, istihsan, dan
mashalih mursalah.
Lafal-lafal yang digunakan dalam
ber-istidlal, beserta maknanya. Misalnya amr-nahy (perintah-larangan),
nasih-mansukh (penganulir-dianulir), ‘am-khash (umum-khusus), muthlaq-muqayyad
(mutlak-terikat), mujmal-mubayyan (global-dirinci), manthuq-mafhum
(tekstual-implisit), dan lafal lainnya. Ijtihad Taklid Tujuan dan hikmah pensyariatan suatu
hukum Dan masih banyak lagi.[8]
Sumber Usul Fikih
Usul fikih memiliki muara atau
sumber, baik dari sisi dalil maupun asasnya. Di antaranya adalah:
Alquran dan sunah
Riwayat dari sahabat dan tabiin
Konsensus ulama salafussaleh
Kaidah bahasa Arab dan keterangan
penguat yang dinukil dari bangsa Arab
Fitrah dan akal yang sehat
Ijtihad ulama yang tidak
bertentangan dengan ketentuan syariat.[9]
Urgensi Usul Fikih
Mempelajari ilmu usul fikih memiliki
berbagai urgensi ataupun faedah tersendiri yang menekankan betapa urgennya
disiplin ilmu ini. Di antaranya adalah:
Sebagai fondasi pokok dalam
ber-istidlal
Mengetahui pendapat yang benar di
antara perbedaan pendapat para ulama
Mengetahui standar yang benar untuk
ber-istidlal agar selamat dalam beristidlal, karena tidak setiap dalil sahih
itu menghasilkan istidlal yang juga sahih
Memudahkan praktik ijtihad dalam
“fikih kontemporer”
Menjelaskan ketentuan dalam fatwa,
syarat menjadi seorang mufti, serta adab-adab dalam memberi dan meminta fatwa
Mengetahui sebab-sebab yang
menimbulkan persilangan pendapat di antara para ulama sehingga dapat memberikan
alasan dan uzur bagi mereka dalam hal tersebut
Menyeru kepada mengikuti dalil apa pun
itu, serta meninggalkan fanatisme dan taklid buta
Menjaga akidah Islamiyah dengan
menjaga usul istidlal dan bantahan terhadap syubhat orang-orang yang
menyelisihinya
Menguatkan kaidah dalam berdiskusi
dan berdialog secara ilmiah
Dan lain-lain.[10]
Kata pepatah, tak kenal maka tak
sayang. Oleh karena itu, setelah mengenal apa itu usul fikih, bagaimana penting
dan urgensinya usul fikih, kita bisa makin mencintai disiplin ilmu ini. Jika
sudah cinta, maka semangat untuk mempelajarinya pun semakin membara. Jika sudah
menguasainya, maka kita akan semakin sadar betapa berartinya ilmu usul fikih
dalam memahami ilmu agama.
Akhir kata, semoga Allah memudahkan
kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang berilmu, mengamalkannya dalam setiap
sendi kehidupan kita, serta mengajarkannya kepada sesama.
____________________
[1] Lihat Taisir Ilmi Ushul al-Fiqh
– Maktabah Syamilah, hal. 6
[2] Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul,
hal. 25
[3] Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul,
hal. 32-34, dan Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal.
21
[4] Analogi ini kami dapat dari Ust.
Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. –hafizhahullah, di dalam pelajaran Usul Fikih
tahun 2010.
[5] Lihat Ilmu Ushul al-Fiqh –
Maktabah Syamilah, hal. 17
[6] Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli
as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 27
[7] ibid
[8] Lihat Dirasat fi Ushul al-Fiqh –
Maktabah Syamilah, hal. 10-15
[9] Lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh
‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 23
[10] Lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh
‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 23-24, dan referensi lainnya.
Daftar Pustaka:
Al-Jaizany, Muhammad bin Husain bin
Hasan. 1416 H. Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah. Dar
Ibnu al-Jauzi: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1.
Al-Juda’i, Abdullah bin Yusuf.
Taisir Ilmi Ushul al-Fiqh. Maktabah Syamilah.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih.
1432 H. Syarh al-Ushul min Ilmi al-Ushul. Dar Ibnu al-Jauzi: Unaizah – KSA.
Cetakan ke-2.
Khalaf, Abdulwahhab. Ilmu Ushul
al-Fiqh. Maktabah ad-Dakwah – Syabab al-Azhar (dari cetakan ke-8 Dar al-Qalam)
– Maktabah Syamilah.
Babakr, Dr. Ali Ahmad. Dirasat fi
Ushul al-Fiqh. Maktabah Syamilah
--------------
Sumber :