Showing posts with label Fiqh & Ushul Fiqh. Show all posts
Showing posts with label Fiqh & Ushul Fiqh. Show all posts

Thursday, April 8, 2021

Silsilah Kitab-Kitab dalam Mazhab Syafii


Kitab Fiqih dalam Mazhab Syafi’i Rhl. Yang dikarang oleh Ulama’-ulama’ Syafi’i dari abad keabad adalah mewarisi pusaka ilmu, kitab-kitab tersebut dikarang oleh sahabat-sahabat Imam Syafi’i Rhl. (Ulama’-ulama’ pengikut Syafi’i) sudah demikian banyaknya. Hampir setiap ulama’ itu mengarang kitab Fikih syafi’i untuk dijadikan pusaka bagi murid-muridnya dan bagi pencinta-pencintanya sampai akhir zaman. Tidak terhintung lagi banyaknya kerana di antaranya ada yang tidak sampai ke tangan kita, tidak pernah kita melihat dan bahkan kadang-kadang ada yang tidak pernah didengari mengenai kitab-kitab dari segi nama kitabnya, pengarangnya, bahkan tidak mengetahui langsung tentang hal kitab dan para ulama’ bagi penuntut ilmu islam. Fenomena ini perlu kita sedari bahwa, hal demikian perlu diambil tahu dan peka bagi setiap penuntut ilmu dari siapa kitab menuntut ilmu, dan dari mana kitab mengambil rujukan hukumnya. Kerana dikhuatiri tiada panduan di dalam menetapkan hukum islam. Menjadi tanggungjawab kita mengetahui hal demikian moga-moga jelas hukumnya, dan benar pengambilannya.

Untuk diketahui lebih mendalam di bawah ini kami sediakan sebuah gambar rajah yang dapat mengambarkan situasi yang telah berlangsung dalam memperjelas, memperinci dan meringkaskan kitab-kitab Syafi’iyyah dari dulu sampai sekarang.
Keterangan :

  1. Kitab-kitab Imam Syafi’i. “Al-Imla” dan “al-Hujjah” adalah kitab-kitab Qaul qadim yang digunakan lagi, kerana semua isinya sudah termasuk dalam kitab-kitab Qaul Jadid.
  2. Kitab-kitab Imam Syafi’i yang diguna sebagai kitab induk adalah kitab Umm, Mukhtasar, Buwaiti dll.
  3. Imam haramain mengikhtisarkan (memendekkan) kitab-kitab Imam syafi’i dengan kitabnya yang bernama “An-Nihayah.
  4. Imam Ghazali memendekkan juga kitab-kitab Imam Syafi’i dengan kitab-kitabnya yang bernama Al-Basith, Al-wasith, Al-Wajiz.
  5. Imam Ghazali juga mengikhtisarkan lagi dengan kitabnya yang bernama Al-Khulasoh.
  6. Imam Rafi’i mensyarahkan kitab Imam Ghazali Al-Wajiz dengan kitabnya yang bernama Al-‘Aziz.
  7. Dan Imam Rafi’i juga memendekkan kitab Imam Ghazali Al-Khulasoh dengan kitabnya yang bernama Al-Muharrar.
  8. Imam Nawawi memendekkan dan menambah di sana sini kitab Al-Muharrar itu dengan kitabnya yang bernama MINHAJUT THALIBIN (Minhaj).
  9. Kitab Imam Nawawi, Minhaj disyarahkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dengan kitabnya Tuhfa, oleh Imam Ramli dengan kitabnya An Nihayah, oleh Imam Zakaria al-Anshori dengan kitabnya yang bernama Minhaj jug, oleh Imam Khatib Syarbaini dengan Mughni al-Muntaj.(Kitab-kitab tersebut dalam nombor 8 dan 9 ini banyak beredar di pasentren).
  10. Dan Imam Rafi’i pernah mensyarah kitab karangan Imam Ghazali Al-Wajiz dengan kitabnya yang bernama Al-‘Ajiz.
  11. Imam Nawawi pernah memendekkan kitab Imam Rafi’i denagn kitabnya yang bernama Ar-Raudhah.
  12. Imam Quzwaini pernah memendekkan kitab Al-‘Ajiz dengan kitabnya yang bernama Al-Hawi.
  13. Kitab Al-Hawi pernah diikhtisarkan oleh Ibnul Muqri dengan kitabnya yang bernama Al-Irsyad dan kitab al-Irsyad ini disyarah oleh Ibnu Hajar al-Haitami dengan kitabnya yang bernama Fathul Jawad dan juga dengan kitabnya yang bernama Al-Imdad.
  14. Kitab Imam Nawawi bernama Ar-Raudhah pernah diiktisarkan oleh Imam Ibnu Muqri dengan nama Ar-Roudh dan oleh Imam mazjad dengan Al-Ubab.
  15. Kitab Ibnul Muqri Al-Irsyad pernah disayarah oleh Imam Ibnu Hajar dengan kitabnya yang bernama Al-Imdad, dan dengan kitabnya bernama Fathul Jawad.
  16. Kitab Ar-Roudh dari Ibnul Muqri pernah disyarah oleh Imam Zakaria Al-Anshori dengan nama Asnal Mathalib.
  17. Imam Zakaria al-Anshori pernah mensyarah kitabnya yang bernama Al-Minhaj dengan kitabnya yang bernama Fathul Wahab. 

Demikianlah keterangan ringkas dari jalur kitab-kitab dalam Mazhab Syafi’i yang sangat teratur rapi, yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. (ibaratnya daripada penulis, ia bagaikan sebuah keluarga dari jalur keturunan).
Kemudian banyak lagi kitab-kitab fikih Syafi’i yang dikarang oleh Ulama’ mutaakhirin yang tidak tersebut dalam jalur ini kerana terlalu banyak, seperti kitab-kitab Al-Mahalli karangan Imam Jalaluddin al-Mahalli, Kitab Fathul Mu’in karangan al-Malibari, Kitab I’anahtut Thalibin karangan Said Abu Bakar Syatha dan lain-lain yang banyak sekali.
Dengan perantaraan kitab-kitab ini kita sudah dapat memahami dan mengamalkan fatwa fiqih dalam Mazhab Syafi’i secara teratur dan secara rapid an terperinci, yang kesimpulannya sudah dapat mengamalkan syari’at dan ibadah Islam dengan sebaik-baiknya.

Thursday, November 15, 2018

Hukum Crypto Currency seperti bitcoin menurut Islam

HUKUM WADH’I, PENGERTIAN DAN CONTOHNYA

HUKUM WADH’I, PENGERTIAN DAN CONTOHNYA

HUKUM WADH’I, PENGERTIAN DAN CONTOHNYA
Hukum Wadh'i; Syarat, Sebab, Mani'

HUKUM WADH’I, PENGERTIAN DAN CONTOHNYA

Dalam pan Ushul Fiqh, Hukum terbagi menjadi 2 jenis:
1. Hukum taklifiyyah
2. Hukum Wadhiyyah


1. Sebab dan macamnya.

"Sebab" menurut jumhur, ialah sesuatu yang tampak yang dijadikan oleh agama sebagai tanda adanya hukum. "Sebab" tersebut ada dua macam :

  1. Sebab yang bukan merupakan hasil perbuatan manusia, yang dijadikan Allah sebagai tanda adanya hukum, seperti waktu sholat sudah tiba menjadi sebab wajib sholat. contoh lain keadaan khawatir berbuat zina sedangkan mampu membentuk dan membina keluarga (rumah tangga) menjadi sebab wajib kawin, kemudian menjadi sebab adanya warisan.
  2. Sebab yang merupakan hasil perbuatan manusia, ialah perbuatan orang mukallaf yang menyebabkan agama menetapkan akibat-akibat hukumnya. Misalnya, bepergian pada bulan ramadhan menjadi sebab rukhsha (dispensasi) tidak wajib berpuasa. Contoh lain, Akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan sebagai suami istri. Zina menjadi sebab hukuman had.
    Sebab menimbulkan akibat, sekalipun tidak dikehendaki pelakunya. Misalnya adanya akad nikah mempunyai akibat hukum, ialah lelaki dan wanita mempunyai hak dan kewajiban sebagai suami istri, sekalipun kedua orang itu tidak menghendaki adanya hukum-hukum yang dikenakan kepada keduanya sebagai akibat perbuatan mereka (nikah). Demikian pula kematian seseorang yang menyebabkan ahli warisnya mewarisi harta pusakanya, sekalipun hal ini tidak dikehendaki oleh simati dan juga ahli waris menolak ahli waris menerima warisannya.

    Apabila perbuatan menjadi sebab itu diperintahkan atau di izinkan oleh agama, maka akibat hukumnya adalah hak bagi pelakunya. Misalnya perkawinan mengakibatkan adanya hak saling mewarisi antara suami istri dan juga anak-anak yang lahir dari perkawinannya.

   Apabila perbuatan yang menjadi sebab itu dilarang oleh agama, maka si pelakunya menerima hukuman akibat perbuatannya. Misalnya, pembunuhan. terhadap orang yang mewariskan harta bendanya mengakibatkan si pembunuh mendapat hukuman pidana (qisas), dan ia gugur haknya sebagai pewarisnya.

2. Syarat dan Macamnya

    Syarat adalah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya suatu hukum, yang berarti ada dan tidaknya hukum tergantung pada ada dan tidaknya syarat, tetapi adanya syarat belum tentu ada hukumnya.

    Ada perbedaan antara syarat dan sebab, ialah adanya syarat belum tentu ada hukumnya. Misalnya,

adanya wudhu yang menjadi syarat sahnya shalat belum tentu ada kewajiban shalat. Dan adanya dua saksi yang menjadi syarat sahnya perkawinan, belum tentu ada perkawinan. Sedangkan adanya sebab tentu timbul hukumannya, kecuali kalau ada mani' (halangan) . Misalnya kalau waktu shalat sudah tiba, maka wajiblah shalat; kalau masuk bulan Ramadhan, maka wajiblah berpuasa; dan kalau ada unsur memabukkan, maka diharamkan.

  1. Syarat yang  menyempurnakan sebab, seperti jatuh haulnya (tempo mengeluarkan zakat) menjadi syarat untuk wajib mengeluarkan zakat atas harta benda yang telah mencapai nisabnya (kekayaan yang terkena zakat ). Nisab merupakan sebab wajib zakat, karena nizab ini menjadi indikator (petenjuk) adanya kekayaan seseorang. Hanya saja kekayaan yang ditandai dengan nizabnya itu baru ternyata betul, jika setelah jatuh haulnya, kekayaan yang telah mencapai nizabnya masih sempurna dimilikinya. Demikian pula harta benda yang disimpan baik menjadi syarat dikenakannya hukuman had kepada si pencurinya, karena pencurian tidak terjadi secara sempurna, kecuali kalau harta benda itu telah tersimpan di temapat yang aman.
  2. Syarat yang menyempurnakan musabab, seperti udhu dan menghadap kiblat merupakan syarat yang menyempurnakan hakikat shalat. 
3. Mani' dan Macamnya

    Mani' ialah sesuatu yang kalau ada bisa meniadakan atau menghalangi tujuan yang dicapai oleh sebab atau hukum. Menurut Asy Syatibi, Mani' ialah sebab yang menimbulkan illat atau keadaan yang meniadakan hikmah hukumnya. Misalnya, sebab wajib zakat ialah harta yang dimiliki telah mencapai nisab. Diantara mani' (rintangan) yang menghalangi kewajiban zakat, ialah adanya utang yang jumlahnya bisa mengurangi nisabnya, karena adanya utang itu dapat menghalangi wajib zakat.

   Mani' ada dua macam, ialah:

  1. Mani' yang mempengaruhi atau menghalangi sebab, seperti pembunuhan menghalangi hak waris, karena penyebab hak waris adalah hubungan perabat atau perkawinan dengan si mati. Karena itu pewaris  seharusnya melindungi keselamatan orang yang akan mawarsikan harta bendanya kepadanya, bukan membunuhnya agar bisa segera mewarisinya. 
  2. Mani' yang menghalangi hukum ada 3 (tiga) macam, ialah:
  • Mani' (halangan) yang membebaskan hukum taklifi, misalnya karena gila, sebab orang yang gila bukanlah orang mukalaf selama ia dalam keadaan gila. Karena itu, ia tidak wajib Mengqadha hukum-hukum taklifi yang tidak dikerjakan. 

  • Mani' yang membebaskan hukum taklifi, sekalipun masih mungkin melakukan hukum taklifi. Misalnya wanita yang sedang menstruasi atau habis melahirkan bayi tidak wajib shalat, bahkan dilarang shalat, sekalipun fisik dan mentalnya memungkinkan orang yang bersangkutan melakukan shalat. 
  • Mani' yang tidak membebaskan sama sekali hukum taklif, tetapi hanya mendapat keringanan dari tuntutan yang pasti kepada mubah. Misalnya sakit menjadi halangan wajib shalat jum'at. Tetapi kalau orang sakit itu melakukan shalat jum'at maka sahla shalat jum'at nya. Demikian pula wanita dan musafir tidak wajib shalat jum'at, tetapi kalau mereka mengerjakan shalat jum'at, sahlah jum'atnya.


-------------
Sumber : Ilmusaudara.com

MENGENAL ILMU USUL FIKIH


MENGENAL ILMU USUL FIKIH
 Ushul Fiqh; Metode dasar kajian hukum Islam 

MENGENAL ILMU USUL FIKIH

Oleh :  
Roni Nuryusmansyah


Sejak lama, untuk mempermudah para penuntut ilmu memperdalam ilmu agama yang mulia ini, para ulama salaf telah menggariskan usul atau dasar di setiap disiplin ilmu. Di dalam ilmu tafsir, ada usul tafsir. Di dalam ilmu hadis, ada pula usul hadis. Begitu pula di dalam disiplin ilmu fikih, kita mengenal usul fikih.

Usul fikih, perpaduan dua kata yang akrab bagi para penuntut ilmu. Banyak di antara kita yang mungkin mengetahui eksistensi usul fikih sebagai salah satu disiplin ilmu agama. Akan tetapi, sedikit dari kita yang mendalami ilmu yang satu ini. Salah satu faktornya adalah minimnya pengetahuan kita terhadap urgensi disiplin ilmu yang lahir 12 abad silam ini. Padahal, jika kita menyelam lebih dalam, kita akan menyadari bahwa ilmu usul fikih sangatlah penting, terutama untuk mengkaji dan mendalami fikih yang notabene selalu bersinggungan dengan praktik sehari-hari lebih jauh lagi.

Oleh sebab itu, tak ada salahnya dalam kesempatan kali ini, kita akan mencoba mengenal ilmu usul fikih, baik makna, cakupan, urgensi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Diharapkan setelah mengenalnya, kita tergerak untuk lebih bersemangat mempelajarinya, mendalaminya sedemikian rupa, atau bahkan menjadi ahli di bidangnya.

Makna Usul Fikih

Untuk mengetahui makna usul fikih, ada baiknya kita terlebih dahulu mengurainya menjadi dua kata: usul dan fikih.

Usul adalah kata serapan dari bahasa Arab yaitu ushul, bentuk plural dari ashl, yang berarti dasar, asas, pokok, atau fondasi. Allah Ta’ala berfirman,

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ

“Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah mengumpamakan kalimat yang baik seperti pohon yang baik: ‘akarnya’ kuat dan cabangnya menjulang tinggi ke langit.” (QS. Ibrahim 24).

Di dalam ayat ini, kata ashl, yang merupakan bentuk tunggal dari ushul dipakai untuk menjelaskan makna fondasi pohon, yaitu akarnya.

Di dalam istilah, usul memiliki beberapa makna. Di antaranya adalah dalil, pendapat yang paling kuat, kaidah, dan hukum asal.[1] Makna ini tergantung konteks kalimat di mana kata usul tersebut ditempatkan.

Sedangkan fikih atau fiqh dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar (kata benda yang bermakna kata kerja) dari faqiha-yafqahu yang berarti memahami, mengerti, mengetahui, atau yang semakna dengan itu. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Musa ‘alaihissalam yang memanjatkan doa,

وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي (*) يَفْقَهُوا قَوْلِي

“Dan lepaskan kekakuan dari lisanku, agar mereka ‘memahami’ perkataanku.” (QS. Thaha: 27-28)

Akan tetapi sebagian ulama mengkritisi makna ini. Mereka berpendapat fikih tak sekadar memahami atau mengetahui saja, akan tetapi memahami dengan pemahaman yang dalam, bukan memahami secara global. Jadi, seorang yang hanya memahami saja tidak dikatakan seorang yang fakih.

Dalam istilah, fikih berarti suatu disiplin ilmu yang membahas hukum-hukum syariat yang berupa amal perbuatan disertai dengan dalil-dalil yang terperinci.[2] Oleh sebab itu, fikih tidak membahas hukum akli dan adat. Fikih tidak pula bicara permasalahan akidah semisal tauhid, dalam konteks pengertian fikih menurut istilah ini.

Setelah mengetahui makna dua kata di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa usul fikih adalah ilmu yang membahas dalil-dalil fikih secara global dan mengupas metode dalam menarik hukum dari dalil-dalil tersebut, serta kondisi orang yang menarik hukum tersebut.[3]

Sehingga dapat kita uraikan secara garis besar usul fikih mencakup tiga pembahasan:

Dalil-dalil syar’i, baik yang disepakati eksistensinya, seperti Alquran, sunah, ijmak, dan kias, maupun diperselisihkan eksistensinya oleh para ulama, semisal istish-hab, perkataan sahabat, syariat sebelumnya, istihsan, dan mashalih mursalah.

Metode dalam ber-istinbath atau ber-istidlal, yaitu menarik hukum syar’i dari dalil tersebut. Semisal mengetahui lafal amr-nahy (perintah-larangan), nasih-mansukh (penganulir-dianulir), ‘am-khash (umum-khusus), muthlaq-muqayyad (mutlak-terikat), mujmal-mubayyan (global-dirinci), manthuq-mafhum (tekstual-implisit), dan lafal lain yang berguna dalam ber-istidlal.

Kondisi seorang mujtahid yang beristidlal, termasuk membahas pertentangan dalil, bagaimana menguatkan pendapat, seputar fatwa, juga bicara mengenai taklid, dan lain sebagainya.

Untuk memudahkan kita memahami usul fikih, ada baiknya kita menggunakan metode mind map atau peta pikiran, serta analogi, yang acap kali dipraktikkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menggambarkan suatu hal kepada para sahabatnya.

Kita gambarkan usul fikih sebagai sebuah pohon yang besar dan berbuah. Buahnya matang dan siap dipetik. Lalu datang seseorang yang mencoba untuk memetik buah tersebut. Inilah gambaran usul fikih secara sederhana.

Pohon tersebut ibarat sumber hukum di dalam Islam, yaitu Alquran, sunah, ijmak, dan qiyas. Sedangkan buah pohon itu adalah hukum itu sendiri, yakni wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram. Orang yang datang untuk memetik buah itu adalah seorang mujtahid. Ia ingin memetik buah berupa hukum dari pohon yang merupakan sumber hukum. Terakhir, cara orang tersebut memetik buah adalah metode dalam mengeluarkan hukum suatu permasalahan dari sumber hukum itu sendiri, yang sudah kita singgung sebelumnya sebagai istidlal atau istinbath. Nah, usul fikih adalah disiplin ilmu yang membahas itu semua: pohon, buah, orang yang memetik buah, serta cara orang tersebut memetik buah.[4]

Sejarah Ilmu Usul Fikih

Sebagaimana disiplin ilmu lainnya, usul fikih pun mengalami proses sejarah yang cukup panjang, sejak muncul berupa pengetahuan, kemudian dibukukan dan menjadi disiplin ilmu yang mandiri, hingga saat ini.

Sejatinya, usul fikih sudah ada di zaman Nabi. Para sahabat sudah mengenal bagaimana langkah yang digunakan dalam mengeluarkan hukum dari suatu dalil. Para sahabat sudah mengetahui adanya kias, bisa membedakan lafal yang umum dan yang khusus, serta cabang-cabang disiplin ilmu usul fikih lainnya. Semua itu mereka pelajari langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dari sabda-sabda beliau, dari praktik beliau, penjelasan beliau terhadap ayat-ayat Alquran, dari tanya jawab bersama beliau, dan lain sebagainya. Hanya saja, pada masa tersebut, usul fikih sebagaimana disiplin ilmu lainnya belumlah menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri karena tidak ada keperluan untuk hal itu, mengingat sahabat adalah orang yang berilmu dalam hal tersebut.

Sampai berlalu puluhan tahun, atas kehendak Allah, Imam Syafi’i berhasil melahirkan disiplin ilmu usul fikih. Adalah Ar-Risalah, megakarya Imam Syafi’i yang memelopori lahirnya usul fikih. Kitab yang awalnya ditujukan kepada Abdurrahman bin Mahdi itu disebut-sebut sebagai kitab induk di dalam disiplin ilmu usul fikih.

Ada yang berpendapat bahwa yang pertama kali menyusun poin-poin ilmu usul fikih ke dalam satu pembahasan adalah Abu Yusuf, sahabat Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, karya beliau tersebut tidak sampai ke tangan kita, berbeda dengan karya Imam Syafi’i yang disebarkan oleh murid sekaligus sahabat beliau, Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady hingga masih terjaga hingga saat ini.[5]

Di masa ini, mayoritas fukaha, ulama di dalam ilmu fikih, memiliki dua metode yang berbeda di dalam proses belajar-mengajar. Satunya di kenal sebagai madrasah al-hadits, yang berpusat di Madinah, bersama Imam Malik, pengarang Al-Muwaththa’. Satunya disebut madrasah ar-ra’yi, yang berada di Irak, bersama murid-muridnya Imam Abu Hanifah. Madrasah al-hadits unggul dalam hal periwayatan hadis karena Madinah merupakan ranah turunnya wahyu dan tempat tinggalnya sahabat. Sedangkan madrasah ar-ra’yi unggul dalam hal berpendapat, beranalisis, dan berlogika karena hadis-hadis yang sampai kepada mereka banyak yang palsu dan tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis menurut mereka. Meskipun begitu, keduanya sepakat akan wajibnya berpegang terhadap Alquran dan sunah dan tidak boleh mendahulukan akal maupun logika di atas keduanya.

Lalu muncullah Imam Syafi’i, murid dari Imam Malik dan Muhammad bin al-Hasan, sahabat Imam Abu Hanifah, yang mencoba menggabungkan kedua metode ini. Ia menggabungkan fikih Imam Malik di Madinah, fikih Imam Abu Hanifah dari sahabatnya, Muhammad bin al-Hasan, serta fikih ulama-ulama Syam dan Mesir. Ia juga menambahkan metode penduduk Mekah yang unggul dalam tafsir Alquran, sebab turunnya ayat, bahasa Arab, serta adat mereka.

Akhirnya, Imam Syafi’i merumuskan usul dalam ber-istinbath, kaidah dalam beristidlal, dan patokan dalam berijtihad. Imam Syafi’i menjadikan ilmu fikih dibangun di atas usul yang tetap, bukan dari fatwa tertentu. Dengan usul fikih, beliau telah menampakkan substansi dan hakikat dari fikih itu sendiri. Beliau menjadi perintis ilmu usul fikih, yang kemudian diikuti dan disempurnakan oleh ulama setelahnya.

Imam Ahmad, murid dari Imam Syafi’i berkata, “Dahulu, fikih itu terkunci, sampai Allah membukanya melalui Syafi’i.”[6]

Di lain kesempatan, beliau juga mengatakan, “Jika bukan karena Syafi’i, niscaya kami tidak mengenal fikih hadis.”[7]

Setelah berlalu masa-masa tersebut, banyak ulama yang mengarang kitab tentang usul fikih. Sebut saja Al-Khatib al-Baghdadi dengan Al-Faqih wa al-Mutafaqqih, Imam Ghazali dengan Al-Mustashfa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan karya-karyanya, Ibnul Qayyim dengan I’lam al-Muwaqqi’in, hingga Ibnu Qudamah dengan Raudhah an-Nazhir yang diadopsi dari karya Imam Ghazali, dan masih banyak lagi kitab usul fikih lainnya.

Cakupan Ilmu Usul Fikih

Telah dibahas sebelumnya, bahwa ilmu usul fikih itu secara garis besar mencakup hukum syar’i beserta dalil sumber hukum itu sendiri, cara mengeluarkan hukum dari dalil yang ada, serta penjelasan seputar mujtahid dan yang berkaitan dengannya.

Adapun jika dirinci, maka kita dapat uraikan sebagai berikut:

Hakikat ilmu usul fikih, seperti tulisan ini, membahas pengertian usul fikih, sejarahnya, cakupannya, urgensinya, dan hal-hal lain mengenai usul fikih itu sendiri.

Hukum syar’i, melingkupi hukum taklifi semisal wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram. Bukan hukum akli dan bukan pula hukum adat.

Seputar mujtahid atau dalam hal ini disebut pula mustadlil atau mustanbith, yang menarik suatu hukum dari suatu dalil.

Taklif dan mukalaf, mencakup apa saja syarat seseorang manusia dibebani syariat, dan hal-hal lainnya.

Illah (sebab) adanya suatu hukum.

Sumber hukum yang disepakati ulama, mulai dari Alquran, sunah, ijmak atau konsensus ulama, hingga kias.

Sumber hukum yang diperselisihkan ulama, seperti istish-hab, perkataan sahabat, syariat sebelumnya, istihsan, dan mashalih mursalah.

Lafal-lafal yang digunakan dalam ber-istidlal, beserta maknanya. Misalnya amr-nahy (perintah-larangan), nasih-mansukh (penganulir-dianulir), ‘am-khash (umum-khusus), muthlaq-muqayyad (mutlak-terikat), mujmal-mubayyan (global-dirinci), manthuq-mafhum (tekstual-implisit), dan lafal lainnya. Ijtihad Taklid Tujuan dan hikmah pensyariatan suatu hukum Dan masih banyak lagi.[8] 

Sumber Usul Fikih

Usul fikih memiliki muara atau sumber, baik dari sisi dalil maupun asasnya. Di antaranya adalah:

Alquran dan sunah
Riwayat dari sahabat dan tabiin
Konsensus ulama salafussaleh
Kaidah bahasa Arab dan keterangan penguat yang dinukil dari bangsa Arab 
Fitrah dan akal yang sehat
Ijtihad ulama yang tidak bertentangan dengan ketentuan syariat.[9]

Urgensi Usul Fikih

Mempelajari ilmu usul fikih memiliki berbagai urgensi ataupun faedah tersendiri yang menekankan betapa urgennya disiplin ilmu ini. Di antaranya adalah:

Sebagai fondasi pokok dalam ber-istidlal

Mengetahui pendapat yang benar di antara perbedaan pendapat para ulama
Mengetahui standar yang benar untuk ber-istidlal agar selamat dalam beristidlal, karena tidak setiap dalil sahih itu menghasilkan istidlal yang juga sahih

Memudahkan praktik ijtihad dalam “fikih kontemporer”

Menjelaskan ketentuan dalam fatwa, syarat menjadi seorang mufti, serta adab-adab dalam memberi dan meminta fatwa

Mengetahui sebab-sebab yang menimbulkan persilangan pendapat di antara para ulama sehingga dapat memberikan alasan dan uzur bagi mereka dalam hal tersebut

Menyeru kepada mengikuti dalil apa pun itu, serta meninggalkan fanatisme dan taklid buta

Menjaga akidah Islamiyah dengan menjaga usul istidlal dan bantahan terhadap syubhat orang-orang yang menyelisihinya

Menguatkan kaidah dalam berdiskusi dan berdialog secara ilmiah

Dan lain-lain.[10]

Kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Oleh karena itu, setelah mengenal apa itu usul fikih, bagaimana penting dan urgensinya usul fikih, kita bisa makin mencintai disiplin ilmu ini. Jika sudah cinta, maka semangat untuk mempelajarinya pun semakin membara. Jika sudah menguasainya, maka kita akan semakin sadar betapa berartinya ilmu usul fikih dalam memahami ilmu agama.

Akhir kata, semoga Allah memudahkan kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang berilmu, mengamalkannya dalam setiap sendi kehidupan kita, serta mengajarkannya kepada sesama.



____________________

[1] Lihat Taisir Ilmi Ushul al-Fiqh – Maktabah Syamilah, hal. 6

[2] Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul, hal. 25

[3] Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul, hal. 32-34, dan Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 21

[4] Analogi ini kami dapat dari Ust. Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. –hafizhahullah, di dalam pelajaran Usul Fikih tahun 2010.

[5] Lihat Ilmu Ushul al-Fiqh – Maktabah Syamilah, hal. 17

[6] Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 27

[7] ibid

[8] Lihat Dirasat fi Ushul al-Fiqh – Maktabah Syamilah, hal. 10-15

[9] Lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 23

[10] Lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 23-24, dan referensi lainnya.



Daftar Pustaka:

Al-Jaizany, Muhammad bin Husain bin Hasan. 1416 H. Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah. Dar Ibnu al-Jauzi: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1.
Al-Juda’i, Abdullah bin Yusuf. Taisir Ilmi Ushul al-Fiqh. Maktabah Syamilah.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1432 H. Syarh al-Ushul min Ilmi al-Ushul. Dar Ibnu al-Jauzi: Unaizah – KSA. Cetakan ke-2.
Khalaf, Abdulwahhab. Ilmu Ushul al-Fiqh. Maktabah ad-Dakwah – Syabab al-Azhar (dari cetakan ke-8 Dar al-Qalam) – Maktabah Syamilah.
Babakr, Dr. Ali Ahmad. Dirasat fi Ushul al-Fiqh. Maktabah Syamilah



-------------- 
Sumber :

Wednesday, November 14, 2018

Konsep Fiqih dan Ibadah dalam Islam

KONSEP FIQIH DAN IBADAH DALAM ISLAM

Konsep Fiqih Dan Ibadah Dalam Islam - 

A. Konsep Fiqih dalam Islam


Kata fiqih adalah bentukan dari fiqhum  yang secara bahasa berari (pemahaan yang mendalam ) yang menhendaki pengerahan poensi akal.Ilmu fiqih merupakan salah satu bidang keilmuan dalam syariah islam ilmu yang secara khusus membahas persoalan hukum atau aturan yang terkait dengan berbagai asfpek kehidupan manusia,baik menyangku undividu,masyarakat,maupun hubungan anusia dengan tuhannya.


Abu Hanifah mengemukakan bahwa fiqih adalah pengetahuan manusia tentang hak dankewajibannya.Al-Amidi yang mengatakan bahwa fiqih sebagai ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat praktis yang di peroleh melalui dalil–dalil terperinci.

Menurut para ulama ushul fiqih :
1. Ilmu yang mempunyai tema pokok denga kaidah dan prinsif tertentu.Karena kajian fiqih fh yang dilakukan oleh fuqoha  menggunakan metodo-metode seperti Qiyas, Istisan, Istishab, Istislah,dan Sadduz zari’ah.
2. Ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk perintah (wajib), larangan (haram), pilihan (mubah), anjuran untuk melekukan (sunnah), maupun anjuran agar menghinfarinya (makruh) yang didasarkan pada sumber-sumer syari’ah,bukan akal atau perasaan.
3. Ilmu tentang syar’ayyah yag berkaitang dengan ibadah dan muamalah.
4. Fiqih diperoleh melalui dalil yang terperinci (tafsili), yakni al-qur’an dan as-sunah,qiyas dan ijma ‘ melului proses istidlal , istimbat atau nazar (analisis).

Ulama fiqih mendefinisikan fiqih sebagai sekumpulan hukum amaliyah (yang akan di kejakan) yang di syariatkan dalam islam.



B. Ruang Lingkup Fikih

Ruang lingkup fiqih terdapat pada ilmu fifih adalah semua yang berbentuk amaliyah untuk di amalkan oleh setiap mukalaf. objek pembicaraan hukum fiqih adalah hukum yang bertlian dengan perbuatan orang-orang mukalaf.

Ruang langkupnya meliputi:
a. Hubungan manusia dengan tuhannya.
b. Hubungan manusia dengan manusuia. Kalau dirinci :
1) Hukum-hukum keluarga yang disebut Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah.
2) Hukum-hukum perdata.
3) Hukum-Hukum lain termasuk hukum-hukum yang bertalian dengan perekonomian dan kekeluargaan yang disebut al-hakam al-aqtisadiyah walmaliyya.

C. Perbedaan Fiqih dengan Syari’ah
Secara terminologis, kata syari’ah berarti sumber air yang digunakan untuk jalan yang lurus, yakni aama yang benar. Tujuan stariah secara khusus yang lebih dikenal dengan istilah Maqasid Al-Syariah yaitu:
1. Memelihara agama (Hifz Al-din)
Untuk memeliharabdan menjaga tegaknya agama dimuka bumi.
2. Memelihara  jiwa (Hifz Al-Nafs)
Kewajiban menjaga dan memelihara jiwa manusia dalam arti luas.
3. Memelihara akal  (Hifz Al-Aql)
Kewajiban menjaga dan memelihara akal sebagai anugrah allah yang sangat prinsip karena tidak diberikan kepada mahlik selain manusia.
4. Memelihara keturunan (Hifz Al-Nash)
Kewajiban menjaga dan memelihara keturunan yang baik karena dengan memelihara keturunan, agama akan berfungsi, dunia akan terjaga.
5. Memelihara Harta (Hifz Al- Mal)
Kewajiban menjaga dan memelihara harta benda dalam rangka sebagai sarana untuk beribadah kepadanya.

Uraian para pakar fikih yang menjelaskan fikih secara terminologis berikut:
1. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syariah sama dengan agama.
2. Manna Al-Qattan (pakar fikih dari mesir) mengatakan bahwa syariah merupakan segala ketentuan Allah Swt. bagi hamba-Nya yang meliputi akidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
3. Fathi Ad-Duraini menyatakan bahwa syariah adalah segala yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada  nabi Muhammad Saw., baik yang ada dalam Al-Qur’an maupun Al-Sunnah Al-Shahihah, dimana keduanya disebut dengan teks-teks suci.

Syariah adalah Teks-teks suci yang bebas dari kesalahan, baik isi maupun keauntentikannya, yang darinya bersumber pemahaman ulama yang mendalam yang menghasilkan kesimpulan hukum-hukum amaliah (fikih).

Perbedaan antara syariah dan fikih adalah sebagai berikut:
SYARIAH
a. Bersumber dari Al-Qur’an Hadis serta kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari keduanya.
b. Hukum bersifat Qat’i (pasti).
c. Hukum syariahnya hanya satu (universal) tetapi harus ditaati oleh semua umat islam.
d. Tidak ada campur tangan manusia (ulama) dalam menetapkan hukum.

FIKIH.
a. Bersumber dari para ulama dan ahli fiqh, tetapi tetap merujuk pada Al-Qur’an dan hadis.
b. Hukumnya bersifat Zanni (dugaan).
c. Berbagai ragam cara pelaksanaannya.
d. Adanya campur tangan (ijtihad) para ulama dalam menetapkan pelaksanaan hukum.

D. Ibadah dan Karakteristiknya
1.  Pengertian Ibadah
Menurut bahasa ada 4 makna dalam pengertian ibadah: Ta’at, Tunduk, Hina, dan pengabdian.
Di dalam al-qur’an, kata ibadah berarti: patuh (at-ta’ah), tunduk (al-khudu), mengikut, menurut, dan doa. Dalam pengertian yang sangat luas ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Adapun menurut ulama fikih, ibadah adalah segala bentuk pekerjaan yang bertujuan memperoleh ridha Allah dan mendambakan pahala darinya di akhirat.

2.  Dasar tentang Ibadah dalam Islam
a. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-ku. (Q.S Az-Zariyat: 56).
b. Hai manusia, sembahlah tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, (Q.S Al-baqarah : 21).

3.  Macam-macam ibadah
a. Ibadah Mahdah (Khassah) adalah ibadah yang khusus berbentuk praktik atau perbuatan yang menghubungkan antara hamba dan Allah melalui cara yang telah ditentukan dan diatur atau dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
b. Ibadah ghairu mahdah (ammah) adalah ibadah umum berbentuk hubungan sesama manusia dan manusia dengan alam yang memiliki nilai ibadah.

Ibadah berdasarkan segi pelaksanaanya :
a. Ibadah jasmaniyah Ruhaniyah, yaitu perpaduan ibadah antara jasmani dan rohani misalnya shalat dan puasa.
b. Ibadah ruhaniah dan maliah, yaitu perpaduan ibadah rohaniah dan harta misalnya zakat.
c. Ibadah jasmani, ruhaniah, dan Maliyah yakni ibadah yang menyatukan ketiganya contohnya seperti ibadah haji.
                                                                                                        
Ibadah berdasarkan segi kepentingannya :
Fardi (perorangan) seperti shalat
Ijtima’I (masyarakat) seperti zakat dan haji

Ibadah berdasarkan segi bentuknya :
Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan, seperti zikir, doa, tahmid, dan membaca al-Qur’an
Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu dan menolong orang lain, jihad, dan mengurus jenazah
Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Ibadah yang tata cara pelaksanaannya berbentuk menahan diri, seperti puasa, I’tikaf, dan ihram.
Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang Yang telah melakukan kesalahan terhadap drinya dan membebaskan seseorang yang berutang kepadanya.

4.  Prinsip – prinsip ibadah dalam islam
Niat beribadah hanya kepada allah (Q.S. Al-fatihah [1] :4)
Ibadah yang tulus kepada allah swt, haruslah bersi dati tendensi – tendensi    lainnya (QS. Al- kahfi : 110)
Keharusan untuk menjadikan Rasulullah saw. Sebagai teladan dan pembimbing dalam ibadah (QS. Al- ahzab : 21)
Ibadah itu memiliki batas kadar dan waktu yang tidak boleh dilampaui (QS. An-nisa : 103)
Keharusan menjadikan ibadah dibangun diatas kecintaan, ketundukan, ketakutan, dan pengharapan kepada allah swt. (QS. Al-isra :57)
Beribadah dalam keseimbangan dunia akhirat (QS. Al- kahfi :77)
Beribadah tidaklah gugur kewajibannya pada manusia sejak baligh dalam keadaan berakal sampai meninggal dunia. (QS. Ali-imran [3]:102).

5.  Tujuan ibadah dalam islam
Membersihkan menyucikan jiwa dengan mengenal dan  mendekatkan diri kepada allah swt serta mengharapkan ridha allah swt.

6.  Keterkaitan ibadah dalam kehidupan sehari-hari
Ibadah dalam islam menempati posisi yang paling utama dan menjadi titik sentral seluruh aktivitas manusia.

-------------------------
Sumber : https://adisags.blogspot.co.id/2015/12/konsep-fikih-dan-ibadah-dalam-islam.html

Pengertian Fikih Islam

PENGERTIAN FIKIH

Pengertian Fikih 

Fikih”, secara bahasa, artinya ‘al-fahmu‘ (paham, mengerti). Allah berfirman,

قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ



“Kaum Madyan mengatakan, ‘Wahai Syu’aib, kami tidak memahami kebanyakan perkataan yang kamu ucapkan.’” (QS. Hud:91)

Allah juga berfirman,


تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ



“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (QS. Al-Isra’:44)
Kata “fikih” dalam ayat di atas bermakna ‘mengerti’ atau ‘memahami’.
Sedangkan, secara istilah, ulama fikih berbeda pendapat dalam masalah ini. Abu Hanifah mendefinisikan “fikih” dengan: pengenalan diri terhadap hak dan kewajibannya. (Al-Mantsur, 1:68)

Pengertian ini memiliki ruang lingkup yang sangat umum, mencakup berbagai permasalahan agama karena hak dan kewajiban makhluk termasuk dalam semua bagian syariat islam, meliputi: akidah, tauhid, ibadah, muamalah, akhlak, dan yang lainnya. Inilah yang dimaksud dengan “fikih akbar”. Fikih dengan definisi ini menjadi pegangan bagi para ulama yang sezaman dengan Abu Hanifah, karena pada saat itu, ilmu agama belum terbagi menjadi beberapa cabang ilmu tersendiri. Termasuk pula ilmu fikih, yang belum terpisah secara khusus dari ilmu yang lain. (Al-Fiqh Al-Islami, 1:15)
Sedangkan, pendapat lain menyatakan bahwa “fikih” adalah:

العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية

“Ilmu tentang hukum syariat, terkait amal yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci.”
(At-Tamhid fi Takhrij Al-Furu’, hlm. 50 dan Al-Fiqh Al-Islami, 1:15)
Definisi di atas dapat dijelaskan secara lebih terperinci:
Ilmu tentang hukum syariat: selain ilmu syariat tidak tercakup dalam ilmu fikih, misalnya: ilmu yang bersumber dari logika atau ilmu yang berasal dari kebiasaan manusia.
Terkait amal: ilmu yang tidak membahas masalah amal tidak tercakup pembahasan ilmu fikih, seperti: ilmu akidah dan ilmu tauhid.
Digali: digali dan disimpulkan dengan ijtihad para ulama terhadap dalil-dalil Alquran dan As-Sunnah.
Dalil-dalilnya secara terperinci: meliputi Alquran, As-Sunnah, ijmak, dan kias. Berdasarkan pengertian ini, perkataan ulama yang tidak sesuai dengan dalil, tidak termasuk bagian dari ilmu fikih.
Sasaran ilmu fikih
Sasaran pembahasan ilmu fikih adalah af’al mukallaf (semua perbuatan yang menjadi beban kewajiban bagi hamba), baik berupa amalan (seperti: salat), meninggalkan suatu amalan (seperti: merampas), atau yang sifatnya pilihan (seperti: makan-minum). (Al-Fiqh Al-Islami, 1:16)

Keistimewaan ilmu fikih
Ada beberapa sisi keistimewaan ilmu fikih, di antaranya:
Sumbernya adalah wahyu. Inilah yang membedakan fikih dengan ilmu buatan manusia, seperti: ilmu filsafat dan yang lainnya
Mencakup semua tuntutan kehidupan. Ilmu fikih membahas segala hal yang menjadi tanggung jawab manusia yang terkait dengan amal, karena ilmu ini mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dirinya sendiri, dan orang lain.
Wahana untuk memahami bagian yang dihalalkan dan diharamkan dalam syariat.
Sistematika pembahasan ilmu fikih

Para ulama ahli fikih dari berbagai mazhab telah menulis berbagai karya dalam bidang fikih menurut mazhab masing-masing. Namun, pada umumnya, mereka menggunakan sistematika yang sama. Para ulama membagi pembahasan ilmu fikih menjadi empat pembahasan, dengan urutan sebagai berikut:

Pertama : Fikih ibadah.
Pembahasan fikih ibadah mencakup enam bab:
Bab taharah; membahas segala amal yang terkait dengan tata cara bersuci dari najis dan hadas.
Bab salat; menjelaskan tata cara salat, dimulai dari takbiratul ihram sampai doa dan zikir setelah salat.
Bab zakat; kajiannya mencakup semua aturan zakat yang wajib, seperti zakat mal atau zakat fitri.
Bab puasa; mengkaji tentang adab dan aturan dalam berpuasa.
Bab haji; mengupas tentang fikih haji dan umrah.
Bab jihad; mengkaji tentang adab dan aturan jihad, pengaturan tawanan, harta rampasan perang, dan yang lainnya.

Kedua: Fikih muamalah dan perekonomian dalam Islam. Bagian ini membahas tentang berbagai aturan dalam muamalah dan perdagangan dalam Islam.

Ketiga: Hukum-hukum terkait keluarga. Fikih keluarga membahas tentang aturan sejak sebelum menikah (seperti aturan melamar, melihat calon istri/suami), hingga aturan dalam rumah tangga.

Keempat: Fikih qadha’, jinayat, dan hudud. Pada bagian ini, dikaji tentang permasalahan kehakiman, pelanggaran hak antar-sesama manusia, hukum kriminalitas, dan segala hal yang terkait dengan pengadilan. (Fikih Jinayat, hlm. 3)
*****

Referensi:
Al-Mantsur fi Al-Qawaid. Az-Zarkasyi. Wizarah Al-Auqaf wa Asy-Syu’un Al-Islam. Kuwait. 1405 H.
Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuha, Dr. Wahbah Zuhaili, Dar Al-Fikr.
At-Tamhid fi Takhrij Al-Furu’ ‘ala Al-Ushul. Abdurrahim Al-Asnawi. Muassasah Ar-Risalah. Beirut. 1400 H.
Fikih Jinayat. Dr. Yusuf bin Abdillah Asy-Syubili. http://shubily.com.


-----------------------
Sumber : https://abinyaraafi.wordpress.com/2012/01/17/pengertian-istilah-fikih/

Tuesday, November 13, 2018

Ringkasan Muzakarah Ulama Aceh di Dayah Busnanul Huda Paya Pasi Aceh Timur


Ringkasan Muzakarah Ulama Aceh 28 Januari 2018 di Dayah Busnanul Huda Paya Pasi Aceh Timur.

Narasumber:
1. Abu Tu Min Blang Blahdeh
2. Abon Kota Fajar
3. Abu Kruet Lintang
4. Abu Kuta Krueng
5. Abi Lueng Angen
6. Waled NU Samalanga
7. Abu Madinah
8. Abi Daud Hasbi
9. Abu Langkawi
10. Abu Paya Pasi
11. Ayah Cot Trueng
12. Ayah Sop ( Tu sop)
13. Abu Blang Jruen ( Moderator)

1. Pemahaman Wahdatul Wujud.
Jawab:
     Wahdatul wujud Mahmudah (Boleh)
Paham yang menyatakan Allah sebagai pencipta, setiap melihat makhluk maka teringat bahwa Allah menciptakan makhluk itu. Paham ini juga dikatakan sebagai paham wahdatul syuhud.
     Wahdatul wujud Mazmumah ( Sesat)
Paham yang manyatakan bahwa Allah menyatu dengan makhluk, apabila melihat makhluk maka itulah Allah. ( Abu Tu Min, Abon Kota Fajar, Abu Madinah, Abu Krueng Lintang, Waled Nu)

2. Dhamir Hu pada Qulhuwallahu Ahad
Jawab:
Jumhur mufassirin menyatakan dhamir tersebut kembali kpd Allah, bukan kpd Muhammad SAW sesuai dengan asbab an-nuzulnya. (Abu Tu Min)

3. Aqidah yang wajib dipelajari oleh setiap Muslim agar sempurna Iman
Jawab:
Setiap muslim wajib bisa membedakan antara muhaddas dengan qadim ( Abon Kota Fajar).
Setiap muslim wajib mengetahui 'Itiqad 50, dalil ijmali dan dalil tafsili. Sifat Allah tidak terbatas hanya 20 saja tetapi sifat Allah sangat banyak sebagaimana dalam Al Qur an cuma yang wajib minimal dipelajari oleh setiap muslim adalah 20 sifat. (Ayah Cot Trueng)

4. Azan pada saat menguburkan jenazah
Dan Talqin Mayat.
Jawab:
Jumhur ulama tidak sunnah azan sa'at memguburkan mayit, tetapi ada pendapat ulama yg membolehkan. Sedangkan Talqin disunnahkan (Ayah Sop Jineib)

5. Bagaimana hukum menikahkan prempuan yg 'azal wali (tidak izin wali)
Jawab:
Boleh dengan syarat sbb:
1.Yang diajak menikah lakil-laki yg sekufu
2. 'Azal dibawah tiga kali.
3. Bahwa azal sudah ditanda tangani oleh hakim
4. Sudah dipinang oleh sekufu
5. Telah dita'yen oleh si premepuan akan calonnya.

Wali tiga kali tidak memberi izin maka dihitung pasek, dan siperempuan harus mencari wali ab'ad.

Jika satu atau dua kali saja, mka siperempuan boleh mencari wali sulthan atau hakim/qadhi.
(Abon Kota Fajar)

6. Persoalan ayah dan ibu nabi masuk neraka atau syurga. (Inna abi wa abaka finnar)
Jawab:
Ayah dan ibu Nabi terlepas dari api neraka karena beliau ahli fithrah (masa kekosongan kenabian). Bahkan belia berdua adalah mukmin karena ada hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa Rasul berpindah ke sulbi yang suci kepada rahim yang suci, hal ini menunjukkan bahwa orang yg suci itulah orang mukmin. Dan ada hadis dari aisyah bahwa Rasul memohon kpd Allah agar menghidupkan kembeli orang tuanya dan beriman dengannya kemudian meninggal kembali. Dalam kitab Fatawa syekh Muhammad Ramli bahwa hadis yang menyatakan ayah ibu nabi dalam neraka telah mansukh dengan hadis aisyah diatas.

7. Bagaimana istilah Patah Putue dalam warisan harta pusaka.
Jawab:
Istilah patah tutue/ hijab dan mahjub dalam harta warisan, boleh diberikan sedikit dengan kesepakatan orang yg hadir atau izin yg bersangkutan.
Contoh, seseorang meninggalkan harta yang banyak dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan cucu laki laki. Cucu laki laki terhijab dengan anak laki laki, maka boleh oleh anak laki-laki untuk memberikan sedikit harta secara sukarelanya kepada cucu laki-laki. (Waled Nu)

8. Transfusi darah dari orang kafir kpd orang Islam.
Jawab:
Boleh dilakukan transfusi darah dari non muslim kpd muslim untuk keperluan pengobatan/ darurat. (Abu Krueng Lintang)

Haram dan tidak boleh, karena darah si kafir apabila masuk dalam dalam tubuh orang muslim menjadi daging, dan daging menjadi tubuh, sedangkan tubuh kafir hanya layak api neraka. ( Abon Kota Fajar)

Tidak ada perbedaan antara dua pendapat diatas, dua2nya benar. Apabila membutuhkan karena darurat niscaya boleh/ shaheh (Abu Tu Min)

Catatan.
Muzakarah.
Sumber : Steemit (Tarmizi82)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel