Showing posts with label Faraidh/Mawarits. Show all posts
Showing posts with label Faraidh/Mawarits. Show all posts

Thursday, November 15, 2018

KEUTAMAAN BELAJAR ILMU FARAIDH


KEUTAMAAN BELAJAR ILMU FARAIDH
Keutamaan Mempelajari Faraidh - Image by Google

KEUTAMAAN BELAJAR ILMU FARAIDH

Ilmu faraid merupakan salah satu disiplin ilmu di dalam Islam yang sangat utama untuk dipelajari. Dengan menguasai ilmu faraid, maka Insya Allah kita dapat mencegah perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta warisan, sehingga orang yang mempelajarinya Insya Allah akan mempunyai kedudukan yang tinggi dan mendapatkan pahala yang besar disisi Allah swt.

Perhatikan ayat-ayat mengenai waris di dalam Al-Qur’an, terutama ayat 11, 12 dan 176 pada surat an-Nisaa’. Allah swt sedemikian detail dalam menjelaskan bagian warisan untuk setiap ahli waris, yaitu dari seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, seperenam, dan seterusnya berikut dengan kondisi-kondisinya yang mungkin terjadi.

Di bawah ini adalah beberapa hadits Nabi saw. yang menjelaskan beberapa keutamaan dan anjuran untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraid:

1)       Ilmu waris adalah 1/3 dari ilmu agama

Abdullah bin Amr bin al-Ash ra. berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Bersabd:

((قَالَ الْعِلْمُ ثَلَاثَةٌ وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ فَضْلٌ آيَةٌ مُحْكَمَةٌ أَوْ سُنَّةٌ قَائِمَةٌ أَوْ فَرِيضَةٌ عَادِلَةٌ))

Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi saw. yang dilaksanakan, dan ilmu faraid.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah dalam sunannya no 2499)

2)       Solusi dalam konflik keluarga

Ibnu Mas’ud r.a. berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;

قَالَ رَسَوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ ، وَتَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ ، فَإِنيِّ امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَإِنَّ الْعِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ الْاِثْنَانِ فِي الْفَرِيْضَةِ لَا يَجِدَانِ مَنْ يَقْضِيْ بِهَا » « هَذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحُ الْإِسْنَادِ وَلمَ ْيُخْرِجَهُ

Dari ibnu Mas’ud ra. Berkata: telah bersabda Rasululloh Shollallohu ‘alahi wasallam “Pelajarilah al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang-orang, karena aku adalah orang yang akan direnggut (wafat), sedang ilmu itu akan diangkat dan fitnah akan tampak, sehingga dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan, mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup meleraikan (menyelesaikan perselisihan pembagian hak waris) mereka.”

(HR. Bukhori dan Muslim, dalam kitab Mustadrok ‘ala shohihain, No. 8069)

3)       Ilmu yang pertama kali diangkat dari umat Nabi Muhammad SAW

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi s Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

((عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي))

Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya, ilmu faraid setengahnya ilmu; ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat dari umatku.” (HR Ibnu Majah, dalam sunannya. Bab: Anjuran mempelajari ilmu faraidh, vol: 8, hal: 197, no 2710)

Karena pentingnya ilmu faraid, para ulama sangat memperhatikan ilmu ini, sehingga mereka seringkali menghabiskan sebagian waktu mereka untuk menelaah, mengajarkan, menuliskan kaidah-kaidah ilmu faraid, serta mengarang beberapa buku tentang faraid. Mereka melakukan hal ini karena anjuran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diatas.

Umar bin Khattab telah berkata,

((تعلموا الفرائض فانها من دينكم ,وإذا لهوتم فلهو بالرمي وإذا تحدثتم فتحدثوا بالفرائض))

Pelajarilah ilmu faraid, karena ia sesungguhnya termasuk bagian dari agama kalian.” Kemudian Amirul Mu’minin berkata lagi, “jika kalian bermain-main, bermain-mainlah dengan satu lemparan. Dan jika kalian berbicara, bicaralah dengan ilmu faraid, ” (diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam sunannya, vol:6, hal: 209)

Abu Musa al-Asy’ari ra. berkata, “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an dan tidak cakap (pandai) di dalam ilmu faraid, adalah seperti mantel yang tidak bertudung kepala.”

Demikianlah, ilmu faraid merupakan pengetahuan dan kajian para sahabat dan orang-orang shaleh dahulu, sehingga menjadi jelas bahwasanya ilmu faraid termasuk ilmu yang mulia dan perkara-perkara yang penting di mana sandaran utama ilmu ini ialah dari Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya.



-------------
Sumber : 
http://konsultanwaris.com/keutamaan-belajar-ilmu-faraid/

PENGERTIAN MAWARITS (MIRATS)

PENGERTIAN MAWARITS (MIRATS)

PENGERTIAN MAWARITS (MIRATS)
Pengertian Mawarits-Faraidh-Mirats. Image by Google

PENGERTIAN MAWARITS (MIRATS)


Pengertian Mirats

1. Bahasa

Al-miirats (الميراث) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata (وَرِثَ - يَرِثُإِرْثًا- وَمِيْرَاثًا). Dan maknanya menurut bahasa ialah : [1]

انْتِقَال الشَّيْءِ مِنْ قَوْمٍ إِلَى قَوْمٍ آخَرِينَ

Berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah SAW. Di antaranya Allah berfirman:

وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ

"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (QS. An-Naml: 16)

وَكُنَّا نَحْنُ الْوَارِثِينَ

"... Dan Kami adalah yang mewarisinya." (QS. Al-Qashash: 58)

Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi SAW:

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ

'Dan para ulama adalah ahli waris para nabi'(HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan At-tirmizi)

Para ulama adalah orang-orang yang mendapatkan warisan dari para nabi, yaitu berupa ilmu-ilmu agama. Sebab para nabi tidak mewariskan harta benda. Dan para ahli warisnya adalah para ulama.

2. Istilah

Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah dan juga Al-Qadhi Afdhaluddin Al-Khunaji dari kalangan Al-Hanabilah disebutkan bahwa definisi al-irts adalah : [2]

حَقٌّ قَابِلٌ لِلتَّجَزُّؤِ يَثْبُتُ لِمُسْتَحِقِّهِ بَعْدَ مَوْتِ مَنْ كَانَ لَهُ ذَلِكَ لِقَرَابَةٍ بَيْنَهُمَا أَوْ نَحْوِهَا

Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah :

Berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.

Selain itu kita juga mengenal istilah ilmu faraidh, yang hampir sama dengan istilah waris. Para ulama mendefinisikannya sebagai : [3]

عِلْمٌ بِأُصُولٍ مِنْ فِقْهٍ وَحِسَابٍ تُعَرِّفُ حَقَّ كُلٍّ فِي التَّرِكَةِ

Ilmu tentang dasar-dasar fiqih dan perhitungan, yang dengannya dapat diketahui hak-hak tiap orang dalam pembagian harta peninggalan.

Dari definisi di atas bisa kita dapat beberapa batasan, antara lain :

a. Pindahnya Kepemilikan

Pembagian waris memastikan kepemilikan atas suatu harta tertentu. Pembagian waris tidak menetapkan siapa yang memegang, mengelola atau menempati suatu harta. Bisa saja harta itu dimiliki oleh seorang ahli waris, tetapi dalam prakteknya dipinjamkan atau dikelola oleh orang lain. Kalau harta itu berbentuk rumah misalnya, ahli waris yang mendapat rumah itu tidak harus tinggal di dalamnya. Bisa saja orang lain yang menempatinya, asalkan dengan seizin si empunya.

Maka yang ditetapkan dalam ilmu waris adalah siapa yang berhak untuk menjadi pemilik atas suatu harta dari para ahli waris.

b. Dari Orang Meninggal

Orang yang sudah meninggal secara otomatis kehilangan hak kepemilikan atas harta. Kalau ada orang yang memiliki harta lalu meninggal, maka secara otomatis harta itu kehilangan pemilik.

Secara hukum Islam, harta itu harus ada pemiliknya. Karena tidak mungkin suatu harta dibiarkan terbengkalai tanpa ada pemiliknya. Dan di dalam hukum Islam, pemilik dari harta yang pemilik aslinya telah meninggal dunia tidak lain adalah para ahli warisnya.

c. Kepada Ahli Waris yang Hidup

Ahli waris adalah orang yang pada saat almarhum wafat, dirinya masih hidup. Bila ahli waris itu sudah meninggal terlebih dahulu, maka dia sudah bukan lagi menjadi ahli waris.

Dan orang yang sudah meninggal dunia, tentu tidak menjadi pihak yang menerima warisan. Namun perlu ditegaskan bahwa dalam hal ini batasan meninggalnya adalah ketika orang yang menjadi pewarisnya meninggal.

Sehingga bila ada seorang ahli waris yang belum sempat menerima harta warisan dari almarhum pewarisnya, lantaran pembagian warisan itu terlambat, maka dia tetap mendapatkan jatah warisan, meski terlanjur meninggal.

Hartanya diberikan kepada orang-orang yang menjadi ahli warisnya, untuk kemudian dibagi waris lagi dengan benar.

d. Harta yang Halal dan Legal

Harta yang boleh dibagi waris hanyalah harta yang halal secara syar'i dan legal secara hukum. Halal secara syar’i maksudnya secara ketentuan dari Allah, harta itu memang merupakan hak almarhum secara sah. Sedangkan secara legal maksudnya agar tidak ada keragu-raguan tentang status legalitas kepemilikan atas harta itu.

Harta yang dimiliki almarhum secara tidak sah secara syariah tapi legal dari segi hukum misalnya bunga bank konvensional.

Dengan demikian kalau ada seorang pencuri yang meninggal dunia, dia punya harta yang didapat dengan cara tidak halal, jelaslah harta itu tidak boleh dibagi waris. Lalu diapakan harta itu? Jawabnya harta itu harus dikembalikan kepada pemilik aslinya yang sah.

Demikian juga harta yang dikumpulkan oleh seorang pejabat negara dengan jalan tidak halal, entah lewat korupsi, gratifikasi, manupulasi atau memeras pengusaha dan sebagainya, jelas-jelas harta itu tidak sah untuk dimiliki. Maka harta itu pun tidak sah untuk dibagi waris.

B. Pengertian Ilmu Mawarits

Sedangkan ilmu mawaris didefinisikan oleh para ulama sebagai : [4]

عِلْمٌ بِأُصُولٍ مِنْ فِقْهٍ وَحِسَابٍ تُعَرِّفُ حَقَّ كُلٍّ فِي التَّرِكَةِ

Ilmu tentang dasar-dasar fiqih dan hitungan yang dengan ilmu itu kita dapat mengetahui hak-hak setiap ahli waris dalam pembagian waris.

Ilmu mawaris seringkali dimasukkan ke dalam salah satu bab di dalam kitab fiqih yang menjadi karya para ulama. Namun karena keunikannya, seringkali para ulama menulis khusus satu kitab yang hanya membahas masalah mawaris.

Di antara yang pertama kali menulis khusus tentang fiqih mawaris adalah Ibnu Syubrumah, Ibnu Abi Laila dan Abu Tsaur, pada abad kedua hijriyah.





----------
Sumber : 
http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=244

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel