![]() |
Suasana Mesjidil Haram tempo dulu |
3 ULAMA INDONESIA YANG PERNAH JADI IMAM DI MEKKAH
Ternyata selama ini ada ulama asal Indonesia
yang pernah menjadi Imam Masjidil Haram di Mekah, dan lebih dari itu, mereka
adalah tokoh ulama masyur yang hasil pemikirannya masih banyak dipakai di dunia
Islam internasional hingga saat ini.
Seperti yang diketahui pemerintah Kerajaan Arab
Saudi sudah tidak lagi membuka kesempatan bagi keturunan non Arab Saudi menjadi
Imam maupun muadzin di Masjidil Haram. Seperti yang dikutip dari Syaikh
AL-Ghamidi, Setidaknya sudah 50 tahun terakhir peraturan itu berjalan.
Walau ada juga yang menyebutkan saat ini ada beberapa muadzin keturunan
Indonesia, sudah dapat dipastikan mereka sudah pindah kewarganegaraan menjadi
warga Arab Saudi
Baik, kini kita simak siapa saja 3 orang Indonesia
yang pernah menjadi Imam Masjidil Haram, urut dari tahun yang tertua;
1.
Syekh Junaid Al-Betawi
![]() |
Syekh Junaidi al-Betawi |
Syekh Junaid Al-Betawi lahir di Pekojan,
Jakarta Barat. Di Pekojan inilah, Syekh Junaid Al-Betawi, yang kemudian hingga
akhir hayatnya menjadi guru dan imam di Masjidil Haram, Mekah. Sejarah
mencatat pada abad ke-18 hingga abad ke-19 kawasan Pekojan tercatat sebagai
perkampungan intelektual yang pertama di ranah Betawi. Pada masa
itu diperkirakan Habib Luar Batang pun yang berada di kawasan pasar ikan,
Jakarta utara hidup dizaman yang sama. Pada perjalanannya Syekh Junaid beserta
keluarganya pidah dan menetap di Mekah pada usia 25.
Syekh Junaid Al-Betawi dikaruniai empat orang anak,
masing masing 2 putera dan 2 puteri. Anak perempuan pertamanya menikah
dengan Abdullah Al-Misri, yang kemudian tinggal di Pekojan, lalu memiliki
seorang putri dan menikah dengan Habib Abdullah bin Yahya, ayah dari Habib
Usman bin Yahya.
Kemudian putri Syekh Junaid yang satu lagi menikah
dengan Imam Mujitaba, dan dikaruniai seorang anak yang kelak menjadi ulama
besar Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Ulama itu bernama guru
Marzuki. Beliaulah guru dari KH Abdullah Sjafi’ie (pimpinan perguruan Islam
Assyafi’iyah) & KH Tohir Rohili (pendiri perguruan Islam Tohiyah).
Kedua ulama tenar Betawi ini juga murid Habib Ali Alhabsji, pendiri majelis
taklim Kwitang.
Sedangkan kedua puteranya, Syech Junaid As’ad dan
Arsyad, menjadi pelanjut ayahnya mengajar di Masjidil Haram.
Syekh Junaid selama di Mekah aktif mengajar di
lingkungan Masjidil Haram. Muridnya sangat banyak dari berbagai bangsa.
Beliau diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama mashab Syafi’i.
Diantara para muridnya yang masyur adalah, Syekyh Nawawi Al-Bantani,
seorang ulama asal Indonesia, keturunan pendiri Kerajaan Islam Banten, Maulana
Hasanuddin (putra Syarif Hidayatullah). Oleh sebab itu setiap ada saat haul
Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, tak lupa juga dibacakan al-fatihah
teruntuk Syekh Junaid Al-Betawi.
Syekh Junaid Al-Betawi wafat di Mekah pada
tahun 1840 pada usia 100 an tahun. Mungkin berkat jasa beliau jualah nama
Betawi untuk pertama kalinya diperkenalkan di mancanegaran khususnya di tanah
suci.
2. Syaikh
Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani
![]() |
Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani |
Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani Lahir
di Kampung Tanara, Serang, Banten, pada tahun 1815 dan meninggal pada
tahun 1897 di Mekah. Beliau keturunan Putra dari Sunan Gunung Jati,
Maulana Hasanuddin, Keturunan ke-123 Sultan Banten, dan bila diteruskan
nasabnya sampai pada Baginda Nabi Muhamamad saw. Tercatat juga pernah menjadi
Imam Masjidil Haram asal Indonesia
Sang ayah sudah mulai melihat potensi besar yang
dimiliki Syaikh Muhammad Nawawi di usia 5 tahun, Acap kali pertanyaan
pertanyaan sulit dan kritis terlontar membuat sang ayah yang pada awalnya
menjadi pembimbingnya terpaksa harus mengirimnya belajar lebih dalam ke
beberapa pesantren di Jawa.
Syaikh Muhammad Nawawi kecil telah dianugerahi otak
yang cerdas. Saat usia 15 tahun sudah banyak mengajar ilmu agama ke banyak
orang. Semakin banyak saja orang menuntut ilmu dengan beliau hingga harus
mencari tempat yang lebih luas di pinggir pantai, untuk menampung murid lebih
banyak. Pada usia inilah beliau menunaikan ibadah Haji hingga berguru ke ulama
besar di Mekah.
Kurang lebih tiga tahun belajar bersama ulama
terkenal termasuk diantaranya Syekh Junaid Al-Betawi di Mekah membuatnya
rindu pulang ke Banten, Indonesia. Sesampainya di tanah Air jiwa
Nasionalis dan jihad muncul saat betapa kekejiaan, penindasan yang di lakukan
pemerintah Hinda Belanda telah menimpa tanah kelahirannya.
Kebodohan dimana mana sementara segala bentuk
pendidikan begitu dibatasi oleh pemerintah kolonial. Perjuangan berdakwah di
lingkungan masjid tercium oleh Belanda, sehingga setiap gerak geriknya mulai
dibatasi. Pada masa bertepatan perjuangan pangeran Diponegoro
(1825-1830), Syaikh Muhammad Nawawi dituduh sebagai antek antek Pangeran
Diponegoro, sehingga Belanda pun mengusirnya, terpaksa Syekh Nawawi hijrah
kembali ke Mekah.
Setibanya di Mekah beliau kembali memperdalam ilmu
agama kepada guru-gurunya selama kurang lebih 30 tahun. Semakin hari semakin
masyur hasil pemikiran Syekh Muhammad Nawawi. Ketika menetap di Syi’ib ‘Ali,
Mekah. Makin banyak saja murid yang berdatangkan dari berbagai bangsa. Maka
semenjak itulah tersohor nama Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sebagai ulama
yang cerdas dalam ilmu agama.
Puncaknya ketika beliau ditunjuk sebagai
pengganti Imam Masjidil Haram. Namanya makin melekat dengan sebutan resmi
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.’ Artinya Nawawi dari Banten, Jawa.
Semangat nasionalis dan patriotis tetap terjaga
tidak berhenti hingga di Mekah, dengan tetap mengajar di perkampungan jawa di
Mekah. Begitu banyak pemikiran untuk mengobarkan semangat perlawanan kepada
para penjajah yang menyesengsarakan tanah kelahirannya,
Beliau banyak mendapat gelar kehormatan dalam bidang
agama, diantaranya doktor Ketuhanan oleh Snouck Hourgronje, lalu kalangan
Intelektual masa itu juga menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm
al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam).
para ulama Indonesia sepakat memberi gelar kepada
Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.
Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar
biasa sebagai al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz).
Hijaz adalah jazirah Arab atau Saudi Arabia. Dan penting kita ketahui para
ulama Indonesia sepakat memberi gelar kepada Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani
sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.
Begitu banyak murid muridnya menjadi orang besar
penerus cita citanya dan cintanya terhadap indonesia, sebut saja diantaranya
KH. Hasyim Asyari (pendiri Nahdhatul Ulaa) dan KH. Ahmad Dahlan (pendiri
Muhammadiyah).
Dengan begitu jangan sampai kita terkotak kotak
antara NU dan Muhammadiyah karena sesungguhnya para pendirinya berguru pada
guru yang sama. Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani seorang ulama
besar Indonesia sang imam Masjidil Haram
3. Syaikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Rahimahullah
![]() |
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi |
Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi
seorang ulama kelahiran Sumatera Barat, di Koto Tuo – Agam. Lahir
pada 26 Juni 1860 (Senin 6 Dzulhijjah 1276 H) dan meninggal pada 13
Maret 1916 ( Senin 8 Jumadil Awal ) di Mekah. Beliau adalah orang Indonesia
ketiga yang pernah menjadi Imam Masjidil Haram.
Saat kecil sudah berhasil menghafal beberap juz
Al-Qur’an dan melihat kecerdasannya, lalu sanga ayah yang sekaligus gurunya
Syaikh Abdul Latif mengajaknya ke Mekah pada usia 11
tahun (1871) untuk menunaikan ibadah Haji.
Usai berberhaji, Ahmad kecil tetap tinggal di Mekah
untuk menuntaskan hafalan Al-Qur’an nya, sementara sang ayah pulang ke Sumatera
Barat. Selain menghafal Al-Qu’an, Ahmad kecil berguru kepada para ulama Mekah
di Masjidil Haram seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.
Ada yang menarik pada kisah pernikahannya, bermula
pada seringnya Syaikh Ahmad muda berkunjung ke toko buku milik Muhammad Shalih
Al Kurdi di dekat Masjidil Haram. Syaikh Ahmad muda begitu rajinnya berkunjung
untuk membeli kitab kitab yang dirasa perlu untuk dipelajari atau hanya sekedar
dibaca hingga habis bila tidak memiliki uang yang cukup.
Rupanya perangai yang sholeh dan keilmuan agama yang
tinggi membuat sang pemilik toko Muhammad Shalih Kurdi jatuh hati terhadapnya.
Hal itu berlanjut pada permintaan Shalih Kurdi untuk mengangkatnya sebagai
menantu. Perilaku yang mulia membuat Shalih Kurdi pun menikahkan putri
pertamanya yang bernama Khadijah dengan Syaikh Ahmad muda.
Pada awalnya Ahmad Khatib muda sempat menolak karena
ragu lantaran belum cukup bekal biaya untuk menikah, namun hal itu tidaklah
menyurutkan niat dari sang calon mertua. Shalih Kurdi berjanji akan
menanggung seluruh biaya pernikahan mulai dari mahar hingga kehidupan sehari
hari nya kelak
Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikhul
Ahmad Khatib Rahimahullah dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim. Usia
pernikahan tak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia
Dan untuk kedua kalinya, Shalih Al Kurdi, kembali
menikahkan putrinya, adik dari Khadijah yang bernama Fathimah. Hasil dari
pernikahannya ini mereka dikaruniai 2 orang putra yaitu Abdul Malik
dan Abdul Hamid Al Khathib
Kedua anaknya ini kelak menjadi orang penting di
timur tengah. Abdul Malik adalah Ketua redaksi koran Al Qiblah dan memiliki
kedudukan tinggi di Al Hasyimiyyah (Yordan).
Abdul Hamid Al Khathib adalah seorang ulama ahli
adab dan penyair kenamaan dan juga staf pengajar di Masjid Al Haram. Lalu
sempat juga menjadi duta besar Saudi untuk Pakistan.
Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan
yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki
keilmuan yang tinggi.
Kealiman Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah
dibuktikan dengan dilangkatnya ia menjadi imam dan khathib sekaligus staf
pengajar di Masjid Al Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan
yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki
keilmuan yang tinggi.
Ada 2 versi perihal pengangkatan Syaikh Ahmad
Khatib Rahimahullah Al Khathib menjadi Imam dan Khatib Masjidil Haram.
Riwayat pertama ditulis oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar
dalam kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar
mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh atas permintaan
Shalih Al Kurdi, sang mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan
mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menjadi imam & khathib.
Sedangkan riwayat ke-2 ditulis dalam buku “Ayahku”
karya Hamka rahimahullah. Buya Hamka mengkisahkan suatu ketika dalam sebuah
salat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq ada mengucapkan
bacaan yang salah. Seketika itu pula Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah
pun membetulkan bacaan imam.
Usai Shalat, Syarif ‘Aunur Rafiq pun bertanya
siapa yang telah membenarkan bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya Syaikhul Ahmad
Khatib Rahimahullah. mengetahui hal tersebut akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq
mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai imam dan khathib Masjid
Al Haram untuk madzhab Syafi’i.
Patut dicatat, sesungguhnya Imam Masjidil Haram yang
berasal dari luar keturunan Arab dan asli orang Indonesia adalah Syaikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Rahimahullah. Beliau bukanlah keturunan Arab
yang lahir di Indonesia, namun benar benar asli Sumatera Barat. Kita patut
berbangga dengan hal itu
Beliaupun banyak memiliki murid dan menjadi
ulama-ulama besar di Indonesia, sebut saja seperti Abdul Karim Amrullah (Haji
Rasul) ayah dari Buya Hamka, K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan
K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).
--------------
Article
and image source: http://biayaumroh.org