Oleh : Furqan Ar-Rasyid
MOU HELSINKI DAN LINTAS PERDAMAIAN - Segala bentuk sengketa
sudah seharusnya kita selesaikan sekarang juga, apapun itu. Tidak hanya dalam
tatanan politik atau perebutan kekuasaan dan daerah, tetapi juga dalam tatanan
Dien (agama), secara kita umat Islam, maka mendamaikan itu sudah menjadi
kewajiban kita. Konflik berkepanjangan yang berlangsung di Aceh selama kurang
lebih 30 tahun menyebabkan pemerintahan Indonesia harus prah ie Reu’oh bingung
bagaimana menundukkan pejuang-pejuang Aceh yang seakan tidak habis-habisnya.
Setelah bencana Tsunami melanda Aceh di Tahun 2004 lalu, Alhamdulillâh, dengan
izin dari Po Rabbi menghantarkan Aceh damai dalam butir-butir memorandum
kesepakatan antara RI(Republik Indonesia) dan GAM(Gerakan Aceh Merdeka).
Kesepakatan damai ini
tidak hanya dirasakan oleh mereka yang tinggal di Aceh dan Indonesia saja, akan
tetapi buah daripada perjanjian ini juga dinikmati oleh masyarkat Aceh seantero
dunia. Hasil memorandum yang berlangsung di Finlandia ini membawa Aceh kepada
titik sepakat antara pemerintah RI dengan GAM untuk menghentikan perang, dan
terus menjaga perdamaian yang telah dibina. Tentunya kita sangat mengharapkan bulir-bulir
perdamaian ini agar aceh ke depan kian stabil, sambil terus memperjuangkan
nasib bangsa Aceh yang telah terpuruk selama bertahun-tahun.
Namun, tak dapat
disangkal untuk sampai pada prosesi dan kelangsungan perdamaian ini, telah
mengundang pro dan kontra dari berbagai komponen, khususnya dari kubu pemerintah
Indonesia. Sebagai contoh yang paling kecil misalnya kekhawatiran bahwa penandatanganan
MOU Helsinki merupakan suatu kesalahan terbesar pemerintah Indonesia, yang
nantinya dikhawatirkan menimbulkan efek domino yang akan mengancam integritas
NKRI(Negara Kesatuan Republik Indonesia), seperti yang terjadi di Uni Soviet.
Juga sebagian yang lain menilai bahwa penandatanganan tersebut merupakan bukti
kelemahan pemerintah RI di mata dunia, yang secara sadar atau tidak Indonesia
telah terjebak oleh konspirasi internasional dan strategi global pemerintah
asing yang bermain di belakang layar.
Berbanding terbalik
dengan kubu pendukung pemerintah RI, ternyata sebahagian besar masyarakat Aceh
sangat mendukung kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005
tersebut. Nah, ada hal menarik yang ingin saya sampaikan di sini, ketika kita
masyarakat Aceh dihadapkan dengan dua pilihan utama, yaitu antara melangsungkan
perang untuk merdeka atau memilih damai tetapi tetap berstatus otonom dan masih
dalam ruang gerak NKRI, maka secara langsung atau tidak langsung kita akan
memilih pilihan kedua. Mengapa bisa demikian?
Hal pertama, mungkin
yang terngiang dalam benak kita adalah mengingat kondisi Aceh sendiri, artinya
kondisi Aceh yang sangat terpuruk akibat perang panjang selama beberapa kurun
terakhir, hal ini jelas dirasakan oleh masyarakat Aceh yang selalu digeluti
rasa takut akibat musim perang yang silih berganti. Terlebih lagi kondisi perang
seperti ini berdampak buruk pada mata pencaharian masyarakat dan juga sektor
pendidikan. Masyarakat kita sudah cukup menderita dengan hal-hal semacam itu.
Kemudian pada opsi yang kedua kita dihadapakan pada kenyataan yang jelas sudah
dapat kita rasakan sekarang ini, kondisi Aceh yang semakin kondusif dan pendidikan
yang semakin membaik, juga masyarakat yang sudah kembali kepada mata pencaharian
mereka masing-masing, juga perekonomian Aceh yang memulih setelah merosot
begitu lama, semua ini pada akhirnya ini semua juga mempengaruhi keadaan masyarakat
kita dan peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia) Aceh pada umumnya.
Namun di sisi lain,
ada juga kekhawatiran yang muncul dari masyarakat Aceh terhadap perjanjian ini,
walaupun mereka sendiri juga setuju terhadap MOU tersebut, ketakutan itu
bukanlah terhadap isi memorandum tersebut, melainkan lebih dititikberatkan pada
kekhawatiran akan pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh kubu pemerintahan
RI. Semua itu berbuah karena sikap kurang amanah rezim pemerintahan RI terhadap
Aceh sebelumnya, ya betul kata pribahasa; karena nila setitik, rusak susu
sebelanga. Sekali berbohong, seumur hidup orang takkan percaya. Semoga kali ini
RI jujur dan berlaku adil.
Sekarang dan sampai
2014, Aceh telah mengutus duta-dutanya sendiri untuk memimpin, kemenangan
Partai Aceh dan Partai Demokrat dalam pemilu 2009, seperti dilansir banyak
orang adalah kemenangan bangsa Aceh sendiri, artinya kita telah menentukan
pilihan kita sendiri untuk memimpin Aceh di masa yang akan datang, kita sangat
berharap siapapun yang duduk memimpin Aceh nantinya benar-benar orang yang
amanah dan mampu membawa Aceh dalam perubahan.
Ada sisi lain yang
mungkin layak kita ketahui selaku masyarakat Aceh, yaitu ketika kubu-kubu
partai nasional cenderung gelisah bila ada orang aceh yang memimpin di pusat,
padahal dari sisi lain meng-expose orang Aceh ke pusat adalah salah satu cara menjadikan
Aceh selalu diperhitungkan dan dihargai di mata nasional, artinya kita berusaha
mengirimkan orang-orang Aceh sendiri ke pusat dan berbuat untuk rakyat di sana,
lebih dari itu hal yang paling urgen adalah untuk membuktikan kalau orang Aceh juga
mampu untuk memimpin dalam literature sebuah negara, namun peluang dan gerak
langkah para duta Aceh ini terkesan sangat ditutup-tutupi, sebagai buah kekhawatiran
berbagai pihak di pusat jika orang Aceh yang memimpin, kekhawatiran terwujudnya
Aceh merdeka akan terbuka lebar.
Salah seorang pakar
pemimpin muda, pemerhati kondisi Aceh yang saat ini tengah menyelesaikan
pendidikan doktoralnya di Neelain University, Sudan, Ust. Syarifuddin, MA.
ketika kunjungan penelitian disertasi-nya ke Mesir beberapa waktu lalu, yang juga
sempat diwawancarai krue buletin el-Asyi (buletin kekeluargaan Aceh di Mesir) seputar
kondisi Aceh di masa mendatang, beliau menjelaskan bahwa kondisi Aceh akan
penuh dengan perang dan pergolakan, beliau menafsirkan bahwa perang yang dimaksudkan
disini bukanlah perang dengan menggunakan senjata, tapi perang SDM, artinya
Aceh akan penuh dengan pergolakan potensial politik antara Aceh dan RI, baik untuk
kepentingan Aceh sendiri ataupun kepentingan RI. Menurut beliau pergolakan ini
baru bisa reda jikalau pemimpin Aceh benar-benar mereka dari kalangan yang adil
dan memperjuangkan nasib rakyat dengan semestinya bukan karena menginginkan jabatan
atau pangkat, akan tetapi lebih karena tuntutan keikhlasan dalam berbuat dan
membangun Aceh kembali.
Berangkat dari
penafsiran beliau, hendaknya masyarakat Aceh harus mampu untuk terus menata dan
mempersiapkan potensi diri demi kemajuan Aceh nantinya, baik mereka yang berada
di Aceh sendiri maupun masyarakat Aceh yang berada di luar negeri, tetap
berjuang dan never give up. Fenomenanya begini, kalau kita ingin melihat Aceh
yang sebenarnya, jangan melihatnya dari dalam saja, namun kita juga harus
melihatnya dari luar. Alhamdulillâh, sampai saat ini orang Aceh masih setia untuk
Aceh, mereka ada di setiap sudut-sudut perjuangan, ada yang di dalam Aceh adapula
yang di luar Aceh dan masih saling bahu membahu demi mencapai kejayaan Aceh dan
tegaknya keadilan di Aceh, kita akan terus berjuang dari dalam Aceh maupun luar
Aceh.
Aceh lam brûk atau
Aceh lam sangee, begitulah deskripsi visual kalau kita hanya melihat Aceh dari
dalam, lebih kepada intinya, artinya segala hal yang terjadi di Aceh terkesan
ditutup-tutupi oleh pemerintah Indonesia di depan mata dunia. Sepatutnya, kita
mensyukuri hasil apapun dari memorandum di Helsinki, karena itu adalah bentuk
dari usaha menghentikan perang, bersama-sama kita akan terus menjalankan
butir-butir perjanjian itu dengan sebaik-baiknya. Intinya perjuangan Aceh
kedepan tidak lagi harus menggunakan senjata, tapi dengan persaingan politik yang
bersenjatakan potensi SDM yang kita miliki.
Bisa dikatakan,
siapapun yang memimpin sekarang ini, diharapkan dapat membawa perubahan bagi
Aceh. Semoga kejayaan Aceh seperti masa Sultan Iskandar Muda bisa kembali
mengudara di langit-langit serambi mekkah. Tugas kita dimanapun berada, baik
dalam maupun luar negeri, kita terus berbuat untuk Aceh semampu kita, kita terus
belajar dan mengasah potensi, belajar dari sejarah, belajar dari pengalaman, belajar
dari konflik dan lain sebagainya, tidak ada yang mampu merobah Aceh kecuali bangsa
Aceh sendiri.
Setelah MOU, Aceh atau
Nanggroe Aceh Darussalam ?
Sebagai tambahan, ada
hal unik ketika kunjungan Gubernur Irwandi Yusuf ke Jakarta beberapa waktu
lalu, di hadapan publik beliau membuat pernyataan, ketika nama Nanggroe Aceh
Darussalam akan dihapus dan diganti kembali menjadi Aceh saja, tanpa kata
Nanggroe ataupun Darussalam. Alasannya penggantian nama tersebut sebagai wujud
nihil dari perjuangan mencapai kemerdekaan selama ini, kata Nanggroe Aceh
Darussalam yang pada awalnya bermakna bahwa Aceh sebuah negeri yang berdaulat.
Tentunya penamaan nama ini harus sesuai syarat bagi sebuah Nanggroe yaitu
berdaulat, sedang berdaulat hanya didapatkan dengan kemerdekaan. Jadi apalah
arti dari Nanggroe yang selama ini diagung-agungkan akan tetapi Aceh tetap saja
belum merdeka, sedang menurut hemat saya penggunaan kata Nanggroe dan Darussalam
diantara kata Aceh hanya akal-akalan Indonesia saja untuk sedikit “menghibur”
masyarakat Aceh yang telah lama mengidamkan kemerdekaan.
Raas el Bar, Provinsi Dimyath, Kairo, Mesir, 20
Agustus 2009
***
Furqan Ar-Rasyid
Mahasiswa Fakultas
Syariah wal Qanun
Universitas Al-Azhar,
Cairo
Hp : +20108228956
Email : vhourkhan.vr@gmail.com
Alamat di Mesir : Sekretariat
KMA (keluarga Mahasiswa Aceh) Mesir. Ibrahim Naji St. Bld. 23 No. 16 10th
District , Nasr City, Cairo – Egypt 1152
*Tulisan ini didekasikan untuk lomba WAA-Aceh.org (Lagi lagi gagal ) hiks…
No comments:
Post a Comment