Ilmu Mantiq |
Modul Ilmu Mantiq/Logika
Dosen : Ahmad Taufiq MA
A. ILMU MANTIQ DAN PERKEMBANGANNYA
Bagi bangsa Yunani -dan bahkan
bangsa di seluruh dunia-, Aristoteles adalah ikon rasionalitas. Dia adalah
peletak dasar cara berpikir yang tersusun dalam premis-premis, dan kemudian
ditarik sebuah konklusi. Apa yang dilakukan Aristoteles ini disebut logika.
Bangsa Yunani yang dahulu diliputi dengan dunia mitos, seakan tercengang dan
terhipnotis dengan karya Aristoteles. Posisi Aristoteles sebagai guru Alexander
(putra raja Macedonia, Philip) dan guru filsafat di sekolah yang didirikannya
di Athena, the Lyceum, menjadikan pemikirannya banyak dikenal di tengah-tengah
masyarakat Yunani.
Sampai pada tingkatan tertentu,
logika Aristoteles mendapatkan tempat yang sangat prestis khususnya dalam dunia
pengetahuan. Logika Aristoteles telah mampu merapikan ‘muntahan ide’ Plato yang
terabadikan dalam “dialog”nya. Pemikiran-pemikirannya mampu menghegemoni
rasionalitas bangsa Yunani, bahkan seolah-olah menutup bayang-banyang dua
filsuf besar sebelumya, Socrates dan Plato.
Maka, tak berlebihan jika orang
Yunani menganggap Aristoteles sebagai Tuhan dan Dewa rasionalitas. Jargon
rasionalitasnya mampu meluluhkan ilmuwan pada zamannya demi mengungkap hakekat
sebuah kebenaran.Rasionalitas dalam ilmu akan selalu diagungkan seperti halnya
demokrasi dalam politik.
Logika akan terus berkembang dan
mengambil peran yang sangat relevan terhadap segala perkembangan yang ‘tidak
mutlak’, terlebih ketika menemukan hal baru yang butuh penalaran. Dalam
teorinya, Aristoteles selalu melakukan pendekatan rasional. Hal ini tercermin
dari setiap karyanya. Bahkan alam semesta, menurutnya, tidak dikendalikan oleh
hal-hal yang serba kebetulan. Gerakan alam semesta ini tunduk pada hukum-hukum
rasional.
Pengamatan empiris dan landasan-landasan logis harus dimanfaatkan
dalam mempertanyakan setiap aspek dunia secara sistematis. Dengan ‘dogma’
inilah budaya Eropa mulai bergerak dari hal-hal yang beraromakan mistik dan
takhayul menuju rasio.
Perumusan logika oleh Aristoteles
dan dijadikannya sebagai dasar ilmu pengetahuan secara epistemologi bertujuan untuk mengetahui dan
mengenal cara manusia mencapai pengetahuan tentang kenyataan alam semesta -baik
sepenuhnya atau tidak- serta mengungkap kebenaran. Akal menjadi sebuah neraca,
karena akallah yang paling relevan untuk membedakan antara manusia dengan
segala potensi yang dimilikinya dari makhluk lain. “ Wa Ja’ala Lakum al-Sam’a
wa al-Abshâr wa al-Af`idah” ( QS: 67 Ayat 23).
Oleh Ibnu Khaldun kata “af`idah”
bermakna akal untuk berfikir yang terbagi dalam tiga tingkatan. Pertama, akal
yang memahami esensi di luar diri manusia secara alami. Mayoritas aktifitas
akal di sini adalah konsepsi (tashawwur), yaitu yang membedakan apa yang bermanfaat
dan apa yang membawa petaka.
Kedua, akal yang menelorkan gagasan dan karya
dalam konteks interaksi sosial. Aktvitas akal di sini adalah sebagai legalitas
(tashdiq) yang dihasilkan dari eksperimen. Sehingga akal di sini disebut
sebagai akal empirik.
Dan ketiga, akal yang menelorkan ilmu dan asumsi di luar
indera, lepas dari eksperimen empirik atau yang biasa disebut “akal nazhari”.
Di sini konsepsi (tashawwur) dan legalitas (tashdiq) berkolaborasi untuk
menghasilkan konklusi.
Definisi logika sebagai ilmu untuk
meneliti hukum-hukum berpikir dengan tepat harus mempunyai titik pembenaran
tentang kebenaran itu sendiri. Maka ahli mantik dalam hal ini mencapai sebuah
konklusi, yaitu ketika sebuah pernyataan sesuai dengan kenyataannya maka itu
benar dan pernyataan yang didasarkan pada koherensi logis adalah benar, karena
kekuatan pikir kita sebatas kebenaran yang kita ketahui.
Pikiran yang tidak
didasarkan pada kebenaran tidak memiliki kekuatan. Jika aklamasi mengarah
kepada logika adalah representasi dari segala kebenaran pengetahuan, maka akan
timbul pertanyaan ‘ke-independensian’ logika, apakah termasuk dari bagian
sebuah pengetahuan atau hanya sebagai ‘kacung’ ilmu pengetahuan?
Stoicisme mengklasifikasikan ilmu
menjadi tiga tema besar, yaitu metafisika, dialektika dan etika. Dan dialektika
adalah logika. Maka mereka lebih cenderung memasukkan logika sebagai bagian
dari Filsafat. Berbeda dengan Ibnu Sina (1037 M.) dalam bukunya al-Isyârât wa
al-Tanbîhât yang memisahkan logika sebagai ilmu independen sekaligus sebagai
pengantar. Dalam hal ini, Al-Farabi (950 M.) juga berpendapat bahwa mantik
adalah Ra’îs al-‘Ulum yang independen.
Keterpengaruhan mantik arab dengan
neo-platonisme dan Aristoteles sangat jelas jika dilihat dalam hal ini, karena
essensi dari pada logika itu sendiri adalah ketetapan hukum untuk mengetahui
sesuatu yang belum diketahui. Dan sejatinya tidak ditemukan perbedaan yang mendalam, hanya dari sisi pandangnya
saja yang membuat seakan berbeda.
Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu
menjadi dua; pertama ilmu murni-independen (’ulûm maqshûdah bi al-dzât) seperti
ilmu syari’at yang mencakup ilmu tafsir, hadits, fikih dan kalam, dan ilmu
filsafat yang mencakup fisika dan ketuhanan. Kedua, ilmu pengantar
(âliyah-wasîlah) bagi ilmu-ilmu murni-independen, seperti ilmu bahasa Arab dan
ilmu hitung sebagai pengantar ilmu-ilmu syari’ah, dan mantik sebagai pengantar
filsafat.
Pengkajian terhadap ilmu pengantar hendaknya hanya sebatas
kapasitasnya sebagai sebuah alat bagi ilmu independen. Karena jika tidak
demikian, ilmu alat atau pengantar tersebut akan keluar dari arah dan tujuan
awal, dan bisa mengaburkan pengkajian ilmu-ilmu independen. Pembahasan panjang
lebar terhadap ilmu pengantar inilah yang banyak dilakukan oleh ulama khalaf.
Dalam perkembangan selanjutnya, hanya ilmu independenlah yang dapat disebut
sebagai ilmu. Sedangkan ilmu perantara bukan disebut ilmu.
Terlepas dari ilmu
atau bukan, bisa dikatakan tujuan sebenarnya mantik atau logika bukanlah
sebagai peletak hukum berpikir melainkan berpikir untuk memperoleh kebenaran,
yang salah atau yang benar.
Logika dan Perkembangannya
Dalam dunia ilmu, argumen dipakai
sebagai penguat gagasan. Setiap argumen dapat diuji keabsahannya dengan logika.
Maka, untuk mewujudkan argumen yang baik dan benar perlu menguasai logika.
Dalam pembacaan ini, penulis sedikitnya telah menggunakan perumusan logika yang
diusung Aristoteles sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan penjelasan
baru yang berupa dialektita atau logika.
Karena korelasi sebuah pernyataan dan
jawaban yang logis akan dapat dibuktikan dengan rumusan tersebut. Kesalahan
penyimpulan ditemukan ketika tidak menggunakan hukum, prinsip dan metode
berpikir. Berangkat dari upaya pencarian kebenaran tersebut ilmuwan Yunani
seperti Socrates, Plato dan Aristoteles semakin gencar untuk merumuskan
perangkat metode berpikir yang rasional.
Logika dalam perkembangannya
mengalami berbagai fase. Bentuk logika formal yang ada dewasa ini adalah
perwujudan kolaborasi antara pakar klasik dan modern. Tapi pionir logika formal
yang sebenarnya adalah Aristoteles, meskipun dalam pengertian yang berbeda
dengan logika formal modern.
Pada hakekatnya logika tidak terpisah dari materi,
yang pada awalnya merupakan sebuah pemahaman sehingga akan mewujudkan ‘thing’
(sesuatu). Tetapi pakar modern mengawali dari sesuatu sehingga akan muncul
pemahaman. Makna awal logika Yunani adalah kalam yang
kemudian dimaknai sebagai akal, pikiran dan burhan.
Baru sekitar abad ke-2 M bangsa Arab
mengadopsinya dan diterjemahkan sebatas segi bahasa yaitu kalam dan talaffud
tanpa menghubungkannya dengan makna sebenarnya yang digunakan di Yunani ketika
itu. Susunan logika Aristoteles yang sudah tertata rapi disertai peninggalan
karya-karyanya dalam jumlah yang banyak dapat dikatakan sebagai salah satu
faktor berkembangnya logika Aristoteles ke dunia Arab.
Sejarahpun mencatat,
banyak karya Aristoteles telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Syria,
Arab, Persia dan India. Maka tak heran jika metode Aristoteles sangat ‘heboh’
merasuki hampir di segala cabang ilmu pengetahuan.
Ada enam tema besar dalam mantik
Aristoteles yaitu, “Categoria Seu Praediecamenta” (al-Maqqûlât), “Perihermenias
Seu de Interpretatione” (al-‘Ibârah), “Analytica Priora” (al-Tahlîlât al-Ulâ),
“Analytica Posteriora” (al- Tahlîlât al-Tsâniyyah), “Topica, Seu De Locis
Communis” (al-Jadal), “De Sophisticis Elenchis” (al-Safsathâ’i).
Seiring dengan
perkembangan mantik di dunia Arab, logika banyak mengalami perubahan, yaitu
dari yang enam menjadi sembilan; ‘Isagog’ (madkhal), ‘Retorika’ (al-
Khithâbah), ‘Potikia’ (al- Syi’r). Sembilan tema besar itulah yang banyak
berkembang di dunia Arab. Bahkan al-Khawarizmi dalam bukunya ” Mafâtîh
al-‘Ulûm” juga mengklasifikasikan mantik ke dalam sembilan tema tersebut. Lain
halnya dengan al-Farabi dalam “Ihshâ` al-‘Ulûm” yang tidak mengkategorikan
‘isagog’ (madkhal) sebagai bagian dari mantik.
Sejarah mengisahkan tentang
perkembangan ilmu berawal dari penerjemahan gede-gedean yang diprakarsai
Khalifah Al-Ma’mun (masa penerjemahan terhadap karya pemikir Yunani dimulai
pada masa Khalifah al-Mansur) dari Dinasti Abbasiyah. Ketika itu, Al-Ma’mun
bermimpi bertemu dengan Aristoteles.
Perbincangan mereka mengarah bahwa sumber
kebenaran adalah akal. Segera Al-Ma’mun mengirim delegasi ke Roma guna
mempelajari ilmu yang banyak berkembang dan tersimpan, kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Yahya bin Khalid bin Barmak adalah ‘Sang Hero’ pada masa
itu, karena dia telah berhasil membujuk bahkan membebaskan karya para
intelektual Yunani dari genggaman Romawi. Hal yang ditakutkan oleh Raja Romawi
dari karya para intelektual Yunani adalah ketika buku-buku tersebut dikonsumsi
oleh rakyatnya dan mulai tersebar maka agama Nasrani kemungkinan besar akan
ditinggalkan, dan kembali pada agama Yunani.
Ilmu asing yang diadopsi Arab diklasifikasikan oleh Khawarizmi
berjumlah sembilan cabang ilmu, dan mantik adalah salah satu di antaranya.
Adalah Ayyub bin al-Qasim al-Raqi yang menerjemahkan Isagog dari bahasa Suryani
ke Arab yang pada awalnya telah diadopsi dari Madrasah Iskandaria.
Pindahnya Madrasah Alexandria ke
Syria membawa banyak pengaruh dalam dunia pengetahuan. Penertiban dan
penyusunan ketika itu menjadikan logika sebagai pedoman dan ilmu dasar dalam
bidang astronomi, kedokteran dan kalam yang berkembang pesat di Arab sekitar
abad IX-XI M.
Sarjana Islam mulai proaktif dalam mengembangkan ilmu yang
bernafaskan sains, termasuk Ibnu Sina (1037 M.), seorang filsuf muslim yang
juga dokter dan Abu Bakar al-Razi yang mengawali pembukuan ilmu kedokteran dan
farmasi. Ibnu Rusyd (1198 M.) kemudian ikut andil dalam mengkolaborasikan
logika Aristoteles dengan ilmu Islam termasuk filsafat dan nahwu. Al-Ghazali
juga mulai mengkolaborasikan mantik dengan ilmu kalam pada periode selanjutnya.
Maka jika kita telisik kembali dalam perjalanan sejarah, lewat orang-orang
muslimlah dunia modern sekarang ini mendapatkan cahaya dan kekuatannya.
Pengembangan metode eksperimen dari Timur mempunyai pengaruh penting dalam pola
berpikir manusia sehingga mengembangkan metode ilmiah yang menggabungkan cara
berpikir baik secara deduktif dan induktif.
Rasionalitas Eropa Klasik-Modern
Perkembangan logika Barat berawal
dari masalah teosentris yang sangat berbalik arah dengan perkembangan mantik di
Arab-Islam. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman kristiani menghasilkan
banyak pemikir dan filsuf penting. Mereka sebagian besar berasal dari dua ordo
baru yang lahir dalam abad pertengahan, yaitu Dominikan dan Fransiskan. Aliran
ini dinamai sebagai filsafat Skolastik (dari kata Latin “scholasticus” yang
berarti “guru”).
Tema-tema pokok dari ajaran mereka antara lain hubungan
iman-akal budi, eksistensi dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik.
Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran
paling dalam dari manusia. Dan pada masa ini filsafat diajarkan di
sekolah-sekolah biara serta universitas mengikuti kurikulum tetap yang bersifat
internasional.
Berbeda dengan apa yang ditawarkan
dunia Islam, sebagaimana pendapat Ibnu Rusyd (1198 M.) bahwa filsafat dan agama
mempunyai persamaan, yaitu sama-sama melaporkan prinsip-prinsip wujud tertinggi
dan mempunyai tujuan puncak yaitu kebahagiaan manusia. Dalam tataran ini Siger
de Brabant menyatakan bahwa agama lebih benar dari pada akal, karena betapapun itu, akal hanyalah
akal, yang tidak dapat melampaui posisi agama. Adapun filsafat, laporannya
lebih bersifat persuatif sedangkan agama lebih ke imajinatif.
Pengaruh rasionalitas Aristoteles
terhadap peradaban Eropa secara periodik terbagi tiga, yaitu pada permulaan
abad Masehi (sekitar abad ke-2 dan ke-3 M.), kemudian pada pertengahan abad
(sekitar abad ke-13 hingga abad ke-16 M.) dan akhir abad ke-19 M.
Yang perlu
ditekankan di sini, bahwa otoritas gereja pada pertengahan abad sangat
menghegemoni hampir semua wilayah Eropa dengan mengusung etika rasional sebagai
titik tolak pemikiran. Sehingga wahyu Tuhan seakan dipaksakan untuk memasuki
wilayah akal.
Nah, hal inilah yang menimbulkan
perpecahan dalam gereja. Mulai abad ke-12 M, gereja mulai menerjemahkan karya
sarjana Muslim yang berpusat di Spanyol dan Napoli. Orang Yahudi ketika itu
banyak mempelopori penerjemahan kitab kedokteran, logika, matematika, astronomi
dan filsafat.
Buku filsafat pertama yang diterjemahkan adalah al-Syifa’ karya
Ibnu Sina (1037 M.) yang sangat melegenda kemudian mulai melebarkan sayap
terhadap karya Al-Farabi dan Al- Kindi. Pengadopsian karya-karya tersebut
didukung dengan hadirnya Madrasah Paris yang sedang naik daun sekaligus
mendapat ‘restu’ dari Raja Philip dan Agustus. Penyelaman terhadap karya
sarjana muslim tidak berjalan mulus bahkan mendapatkan penyangkalan dan
pembantahan dari pihak gereja yang masih fundamentalis.
Karena banyak berlawanan dengan
hasil konsensus gereja, maka secara resmi gereja mengeluarkan pelarangan dan
pemboikotan terhadap karya Aristoteles pada tahun 1210 M. Maka, langkah
selanjutnya yang diambil adalah menerjemahkan karya Aristoteles langsung dari
buku Yunani, dan hal itulah yang banyak membantu Thomas Aquinas dalam pembaruan
gereja. Di sinilah awal permulaan terbaginya madrasah Eropa menjadi empat pusat
keilmuwan, yaitu madrasah Agustine, Dominika, Rasional Latin dan Oxford.
Pada hakekatnya relasi mantik dan
filsafat tidak akan terpisahkan, karena ‘berfilsafat’ harus menggunakan akal
sehat dengan melepas subjektifitas. Sedangkan agama dasar utamannya adalah
kekuatan iman, bukan akal.
Pergolakan iman Kristiani banyak tercabik-cabik
dalam pertengahan abad pertama, yaitu dengan munculnya asumsi gereja yang
menyatakan tidak adanya filsafat dalam agama karena itu sangat mustahil.
Melihat tujuan utama agama nasrani adalah “fikratul khallash”, yang menurut
sebagian tokoh gereja tidak ada sangkut-pautnya dengan filsafat.
Dalam tataran ini, Ludwig Feurbach
sependapat dengan keputusan gereja. Berbeda dengan pemikiran Agustine yang banyak menghubungkan wilayah agama
dan rasionalitas. Dalam bukunya “De Civitate Dei” dikatakan bahwa filsafat
Kristen adalah cinta akan kebenaran, dan kebenaran merupakan ‘kalimah’ yang
menyatu dalam tubuh al-Masih. Maka dalam argumen selanjutnya, Agustine tidak
mengakui otoritas wahyu, karena nasrani adalah agama yang rasional.
Agustine
sedikit menjelaskan korelasi antara rasionalitas dan iman, bahwa fungsi akal mendahului
iman (Ratio antecedit fidem) guna menjelaskan nilai-nilai kebenaran dalam
akidah, sedangkan tujuan iman mendahului akal (Credo ut intelligam) hukumnya
wajib agar akal digunakan untuk memikirkan akidah. Dan dari sini dapat ditarik
benang merah bahwa tujuan hakiki filsafat adalah bukan berpikir untuk
berakidah, melainkan berakidah untuk berpikir.
Hal ini sangat berlawanan dengan
pernyataan Thomas Aquinas (1274 M.), bahwa berpikir merupakan titik
pemberangkatan untuk berakidah. Pemisahan rasionalitas dengan agama juga
menjadi bahasan utama oleh Dr. Zaki Najib Mahmud, sejatinya agama berangkat
dari wahyu disertai nash-nash ilahiyah yang terjaga, maka ketika membahas
‘rasionalitas agama’ lebih ditujukan kepada proses penalaran yang berangkat
dari agama. Nash agama selalu bersifat tunggal, tetapi nash yang berangkat dari
penalaran agama akan bervarian selaras dengan perbedaan segi pandangan akal
terhadap agama.
Pergulatan sejarah mengisahkan zaman
Renaissance adalah yang menjembatani perkembangan rasionalitas dari abad
pertengahan ke era modern sekitar tahun 1400-1600 M. dengan tokoh utama Francis
Bacon (1562-1626 M.), Nicollo Machiavelli (1469-1527 M.).
Mereka mulai menguak
kebudayaan klasik Yunani-Romawi kuno yang dihidupkan kembali dalam
kesusastraan, seni dan filsafat. Jargon utamanya adalah “Antroposentris” ala
mereka, pusat perhatian pemikiran tidak lagi wilayah kosmos, melainkan manusia.
Mulai sekarang manusialah yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan.
Descartes sebagai filsuf,
matematikawan dan ilmuwan Prancis abad pertengahan (1596-1650 M.) memberikan
sebuah elaborasi pernyataan yang berlawanan filsafat klasik tetapi justru
mengembangkan. Sebuah pertanyaan klasik “apakah asal-muasal pengetahuan manusia
itu?” diselaraskan dengan pertanyaan “bagaimana saya tahu?” adalah hepotesa
aktif yang menuntut akal untuk proaktif dalam melihat sesuatu.
Pengaruh besar
yang dicetuskan Descartes adalah pemahaman tentang fisik alam semesta, bahwa
seluruh alam -selain Tuhan dan jiwa manusia- bekerja secara mekanis. Oleh
karena itu semua peristiwa alami dapat dijelaskan dari sebab
musabab mekanis. Atas dasar inilah
dia menolak pandangan astrologi, magis dan takhayul, yang berarti juga menolak
penjelasan teologis. Dia berpendapat seharusnya para ilmuwan menjauhkan diri
dari hal-hal yang bersifat semu dan harus menjabarkan dunia secara matematis.
Dia menyusun suatu sistem filsafat dengan metode matematika.
Perkembangan baru muncul lagi di
abad ke-18 M., yang biasa disebut masa enlightment atau Aufklarung, yang mulai
menciptakan suatu sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Tokoh utamanya
adalah John Locke (1632-1704 M.), di Prancis Jean Jacque Rousseau (1712-1778
M.) dan di Jerman ada Immanuel Kant (1724-1804 M.). Atas dasar rasionalisme,
empirisme dan idealisme, Barat sampai saat ini mempunyai banyak aliran
filsafat, yang kebanyakan hanya berkutat pada satu negara dan kebudayaan.
Nalar Arab-Islam
Terdapat banyak versi kapan mulainya
penerjemahan dari Yunani ke Arab. Ada yang mengatakan bahwa penerjemahan itu
terjadi pada masa kekuasaan Daulah Bani Umayah, ada juga yang berpendapat pada
awal Daulah Abbasiyah. Al-Syahrastani sepakat bahwa mantik lebih dulu memasuki
wilayah Arab sebelum zaman penerjemahan, yang berarti sebelum abad ke-8 M.
Proses penerjemahan terhadap karya filsuf Yunani didukung oleh upaya ekspansi
umat Islam ke beberapa wilayah asing.
Namun, mantik dalam masa ini belum
menemukan perkembangan pesat, bisa jadi keadaan sosial masyarakatnya memang
belum butuh atau aksi pencekalan oleh ulama salaf yang begitu menghegemoni.
Sebagian dari ahli sejarah mengatakan, bahwa ilmu mantik mulai masuk ke dalam
pemikiran Arab pada abad ke-7 M ketika masa penerjemahan Khalifah Ma’mun.
Menurut Deboura, belum tersebarnya
mantik secara meluas disebabkan karena hilangnya beberapa dokumentasi
terjemahan buku-buku mantik sebelum abad ke-8 M. Tetapi pendapat ini banyak
disangkal oleh sejarawan lain, karena justru pada masa sebelumnya telah muncul
ilmu nahwu yang banyak berdialog dengan mantik.
Bahkan ulama nahwu dari Basrah
ketika itu mendapatkan julukan ahli mantik, karena dalam metodenya banyak
menggunakan rasio. Hal tersebut sangat didukung oleh kondisi sosial politik
Basrah yang terus berkecamuk, sehingga aksi perlawanan dan pertentangan dari
tiap kelompok tak dapat dihindari. Akibatnya, mantik digunakan sebagai senjata
perlawanan untuk adu argumentasi. Nah, hal ini sangat berbeda dengan ulama
Nahwu Kufah yang cenderung kurang rasionalistik.
Dalam riwayat al-Qadli al-Sha’id
al-Andalusi (1070 M./462 H.) dijelaskan, bahwa Ibnu Muqaffa’ (760 M./142 H.)
diyakini sebagai penerjemah awal ilmu mantik. Ia telah menerjemahkan tiga buku
karya Aristoteles yaitu, Categorias, Pario Hermenais, Analytica, serta Eisagoge
karya Porphyry. Hunain bin Ishaq, salah satu ahli bahasa, juga berpartisipasi
dalam menerjemahkan berbagai disiplin ilmu Yunani ke dalam bahasa Arab.
Bahkan
Ishaq juga ikut menerjemahkan dari bahasa Suryani. Dalam buku Thatawwur Mantiq
al-Araby dijelaskan, sekitar tahun 800 M. adalah awal penerjemahan buku-buku
Yunani, hingga wafatnya murid dan kerabat Hunain bin Ishaq, karena mereka
banyak membantu proses penerjemahan.
Organon adalah kitab pertama yang
diterjemahkan ke Arab. Orang-orang Nasrani ketika itu juga banyak membantu
dalam proses penerjemahan, yang secara tidak langsung pemikiran Aristoteles
berkembang biak tidak hanya dalam kedokteran, astronomi dan matematika
melainkan mulai menyentuh wilayah teologi Kristen. Maka, dari sini mulai
terjadi perbedaan dalam penertiban ilmu antara filsafat Suryani dan Nasrani.
Sejak saat itu, mantik menjadi pemeran utama dalam ilmu kedokteran dan mulai
berkembang dalam bahasa Arab sekitar abad ke-9 hingga abad ke-11 M. yang
diprakarsai oleh Yahya bin Musawiyah, spesialis penerjemah ilmu kedokteran dari
Yunani ke Arab.
Apalagi didukung dengan hadirnya madrasah di Jundisapur
(Persia) yang mengawali pelatihan penerjemahan dari teks Yunani pada awal abad
pertama yang akhirnya berpindah ke Bagdad. Maka tak bisa dipungkiri lagi, bahwa
dari sinilah lahir sarjana muslim yang berkompetensi tinggi untuk mengenalkan
mantik dalam ilmu keislaman, sebut saja Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina,
Al-Razi, Al-Ghazali dst.
Berawal dari ilmu kedokteran,
astronomi serta kimia, Al-Kindi mulai memberanikan diri untuk menerjemahkan
filsafat Yunani yang sekaligus mendapat persetujuan dari Khalifah al-Ma’mun
(850-873 M). Kemudian mantik mulai berdialektika dan mempengaruhi disiplin ilmu
Islam lainnya, termasuk nahwu.
Mantik dalam hal ini digunakan sebagai rumusan
metode dalam pengambilan hukum gramatikal bahasa, terlebih lagi dalam hal
silogisme. Pada saat yang bersamaan, ilmu kalam juga mulai merayap dan terus
berkembang di tangan Qadariyah, baru diwariskan ke Mu’tazilah sebagai titisan
golongan rasionalis. Pertemuan umat Kristen dengan logika menuntut cendekiawan
muslim untuk lebih giat mempelajari mantik sebagai upaya dalam menjaga teologi
Islam.
Pada dasarnya logika Aristoteles
telah hidup dalam budaya Arab kurang lebih satu setengah abad. Penolakan
terhadap filsafat termasuk logika Yunani baru terjadi pada masa Imam al-Asy’ari
abad keempat Hijriah. Menurut beberapa penulis, penolakan yang sesungguhnya
baru terjadi pada masa al-Ghazali yang menulis bukunya Tahâfut al-Falâsifah pada
pertengahan kedua abad kelima Hijriah.
Penolakan tersebut didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan teologis. Tetapi ada faktor-faktor positif yang
terdapat pada logika Yunani sehingga dapat diterima di dunia Islam, di
antaranya akurasi logika dan ilmu-ilmu matematika yang memberikan kontribusi
luar biasa dalam peradaban Islam. Akibatnya, filsuf dan teolog muslim
mempercayai akurasi dan kebenaran logika, bahkan sampai memasuki wilayah
ketuhanan (metafisika).
Kekaguman akan logika terjadi karena, dulunya, Islam
yang hanya mengenal segi-segi intuisi dan perasaan dalam mempertahankan akidah,
kemudian mulai beranjak menggunakan mantik dalam menguatkan sendi-sendi akidah
Islam sebagaimana disinggung al-Ghazali dalam bukunya, Al-Munqidz min
al-Dhalâl.
Logika Aristoteles memberikan
perubahan besar dalam dinamika sosial masyarakat Arab, terlebih dalam urusan
administrasi negara serta dalam sistem politik sekalipun. Mantik, pada masa itu
juga digunakan sebagai piranti tata letak kota, karena Islam sebagai negara sangat
membutuhkan sistem baru untuk maju.
Tak hanya itu, ide-ide materialisme yang
diusung Aristoteles juga berperan dalam problematika pimikiran Arab-Islam,
meskipun kontradiksi dalam hal ini tidak dapat dinafikan. Peran logika
Aristoteles dapat disimpulkan dalam tiga hal; yaitu sebagai perangkat praktis
dan media berargumen yang marak dalam berbagai perdebatan ideologi.
Selanjutnya, mantik digunakan sebagai salah satu langkah kesuksesan pola pikir
Arab-Islam, sehingga dengan mantik peran akal menjadi primer demi mencapai
tingkat keyakinan.
Dan terakhir, bahwa logika dijadikan sebagai media (wasîlah)
untuk menyatukan berbagai ideologi dan pimikiran menuju hakekat Satu Yang
Mutlak, yaitu sumber kebenaran dan pengetahuan.
Perjalanan mantik Arab mengalami
sedikit goncangan dari ulama klasik. Bantahan dan sanggahan terhadap al-Kindi
kala itu tak dapat dihindari. Karena menurut mereka belajar filsafat sama
halnya belajar sesuatu yang menyesatkan. Parahnya, mereka mengklaim bahwa
mempelajari filsafat dan mantik adalah bagian dari perbuatan setan.
Imam
al-Syafi’i banyak mengeluarkan hadist-hadist larangan terhadap pembacaan logika
dan filsafat. Salah satunya berbunyi “akan dianggap bodoh lagi diperdebatkan
bagi mereka yang mulai meninggalkan bahasa Arab dan
berganti mempelajari filsafat Aristoteles”.
Padahal dalam fikih, Imam Syafi’i
banyak menggunakan metode eksplorasi (istiqrâ`) untuk mengambil istinbath
hukum. Ada pula riwayat yang berbunyi “barang siapa yang mempelajari logika,
maka disamakan dengan kaum zindiq”. Sejatinya, masih banyak lagi nash- nash
hadist lainnya yang menyatakan pelarangan terhadap mantik dan filsafat, seperti
yang sudah dikemas oleh Syeikh Islam Ismail Harawi dalam periwayatannya.
Kecaman dan penolakan terhadap
mantik berawal ketika Al-Mutawakkil mulai menduduki kekhalifahan Abbasiyah (846
M/232 H). Penentang terbesar terhadap pemikiran Yunani adalah golongan teolog
Asy’ariyah terutama Al-Ghazali (1059-1111 M).
Perlawanan tersebut meluas dari
wilayah timur hingga barat. Namun barat Islam lebih terpengaruh akan hal ini
karena mayoritas bermadzhab Maliki yang tidak lain adalah salafi. Mantik dan
filsafat terus dikecam oleh doktrin ke-salafan, sampai pada akhirnya muncul
Ibnu Rusyd pemikir besar Islam yang berani melawan mainstream tersebut dengan
bukunya Tahâfut al-Tahâfut.
Yang juga menjadi komentator atas aliran
Aristoteles –selain Ibnu Sina dan Ibn Rusyd- adalah Suhrawardi dengan magnum
opusnya “Hikmat al-Isyraq”, yang berisikan kritikan terhadap aliran Paripatetik
dan filsafat materialisme yang dianut oleh aliran Stoicisme.
Meski demikian, perlawanan terus
berlanjut bahkan sampai puncaknya pada abad ke-13 dan ke-14 M. Apalagi setelah
terbunuhnya filsuf muslim Sahruwardi pada akhir abad ke-12 M., muncul dua
penentang papan atas yaitu, Ibnu Sholah (1244 M.) dan Ibnu Taimiyah (1328 M.).
Adapun Ibnu Taimiyah melakukan pemboikotan terhadap buku-buku filsafat dan
mantik, serta melontarkan predikat ‘kafir’ terhadap Ibnu Sina dalam bukunya
“Majmu’ah Rasâ`il al-Kubrâ” (terbitan Kairo, hal 138).
Pada masa inilah,
pengikisan mantik mulai terlihat. Muncul setelahnya, abad ke-14 M. Imam
Al-Dzahabi yang juga melakukan perlawanan terhadap perjalanan filsafat dan
mantik Yunani. Hal-hal seperti itulah yang dilakukan ulama salaf guna
membendung fitnah dalam pentakwilan teks-teks suci al-Qur’an dan Hadist.
Dalam tataran praktis, asal-muasal
masuknya mantik ke dunia Arab melalui jalur kedokteran, dan berakhir ketika
mencapai puncak relasinya dengan ilmu kalam oleh Ghazali (al-Iqtishâd fi
al-I’tiqâd).
Menurut Ibnu Taimiyah, sarjana muslim pertama yang banyak
berbicara logika serta menghubungkannya dengan ilmu Islam lain adalah
al-Ghazali, maka tak heran jika ketika masuk abad ke-10 M., mantik sudah tidak
dalam bentuknya yang dulu (ala Yunani), melainkan mulai disusupi nilai-nilai
keislaman.
Dialektika mantik dengan disiplin ilmu Islam lainnya semakin tampak,
bahkan ketika nahwu dikatakan sebagai ‘mantiknya’ bahasa, maka mantik juga
merupakan ‘bahasanya’ akal. Singkatnya, logika berperan sebagai timbangan untuk
memutuskan yang baik dan buruk.
Setelah runtuhnya Baghdad abad ke-11
M., Andalusia dijadikan sebagai pusat peradaban keilmuwan kedua. Demikian pula
yang terjadi dalam mantik, berakhirnya madrasah Bagdad menjadikan mantik lebih
dewasa, artinya yang dipakai saat itu bukan lagi metode Aristoteles melainkan
diktat khusus karya Ibnu Sina. Terlihat dari abad-abad selanjutnya sekitar
ke-13 dan ke-14 M., karya Ibnu Sina lebih membumi dari pada karya Aristoteles.
Di sisi lain, sekitar 970-1030 M. muncul jamaah Ikhawan al-Shafa dengan basis
terbesarnya di Basrah. Dalam logika, mereka mengikuti metode Aristoteles tetapi
lebih condong kepada Neoplatonisme, terlebih dalam pengertian tentang
pitagoras. Banyak buku mantik yang telah dihasilkan oleh para pendahulu mereka,
khususnya al-Farabi dalam mengkolaborasikan mantik Yunani dengan pemikiran Arab
Islam.
Perjalanan mantik mulai tersebar di
Andalusia dan Persia dari abad ke-12 hingga abad ke-13 M. dengan style baru
yang mulai terbebaskan dari filsafat. Ketika mantik dianggap hanya dibutuhkan
dalam filsafat, Al-Ghazali memberikan inovasi baru yaitu membawa mantik secara
perlahan memasuki wilayah kalam, nahwu, fiqh, ushul fiqh dan ilmu sosial.
Karena logika adalah perantara dalam segala hal, tidak hanya problem-problem
teologis dan filsafat saja.
Sejak itu Al-Ghazali melegitimasi umat muslim untuk
mempelajari logika dalam kapasitasnya sebagai kewajiban komunal (fardhu
kifâyah). Terlebih lagi, buku-buku mantik karya Ibnu Rusyd dan karya Fakhruddin
al-Razi menjadi pedoman penting dalam kajian mantik sekaligus menjadi rujukan
bagi para sarjana muslim abad ini. Upaya Ibnu Rusyd dalam mengeleminasi logika
Yunani ternyata menuai hasil yang tidak mengecewakan.
Relasi Mantik dengan Disiplin Ilmu
Islam Lainnya
Al-Ghazali menyatakan bahwa teologi
retoris sangat kering jika hanya berkutat dengan logika tanpa menyentuh epistem
demonstratif, sehingga butuh sebuah upaya harmonisasi demi mencapai teologi
yang mampu menghilangkan skeptisisme.
Mantik dalam pandangan al-Ghazali terbagi
dua, yaitu mantik Aristoteles yang mencakup segala pengetahuan kecuali
teologis, dan mantik “kasyfi” yang hanya mencakup masalah ketuhanan. Tapi
menurut Ibnu Khaldun, logika empirik (mantiq hissi) juga dapat
diklasifikasikan sebagai bagian dari mantik, yang mendasari problematika
kemasyarakatan.
Dalam relasinya dengan ilmu kalam, al-Ghazali lebih
mengunggulkan metode analogi (qiyâs) daripada eksplorasi (istiqrâ’) karena
dianggap tidak dapat membenarkan teori ketuhanan, terwujud dari
ketidakseragaman antara dunia metafisis dan realita. Syahdan, ilmu Kalam yang
diusung al-Ghazali bukan dalam artian harfiahnya (yaitu: pembicaraan),
melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dan menggunakan logika.
Maka ciri khas ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika.
Ekspansi ilmu mantik dalam tataran
teoritis tidak mengalami perkembangan signifikan pada abad ke-13 hingga abad
ke-14 M. Masa setelah hadirnya Ibnu Rusyd dapat dikatakan sebagai masa
melangsungkan kembali kritikan-kritikan beserta ulasannya dari golongan rasionalis
sebut saja Al-Iji, Al-Thusi dan Sa’aduddin Al-Taftazani.
Dalam beberapa kurun
waktu selanjutnya merupakan masa kritikan terhadap pemakaian metode pikiran
dalam memahami soal-soal akidah, salah satunya adalah Ibnu Taymiyah, Ibnu
Sholah, Ibnu Hazm, dan Ibnu Al- Qaym. Nah, baru ketika beranjak ke abad
selanjutnya perkembangan mantik berupa penertiban materi yang sengaja
diselaraskan oleh al-Tustari di kedua madrasah abad pertengahan. Al-Taftazani
dan Al-Jurjani juga turut andil dalam memperjelas mantik. Maka standarisasi
mantik telah sempurna sekitar abad ke-15 M. sampai sekarang.
Laju perkembangan rasionalitas dalam
kancah keilmuwan terlebih di Arab Islam sangat pesat. Pola pikir tiap sekte dan
aliran selalu mengatasnamakan akal. Model penalaran al-Asy’ari dapat
dikategorikan sebagai ‘orthodox style’, karena lebih setia dengan teks suci
agama dibandingkan dengan mu’tazilah dan filsuf.
Meskipun masih dalam lingkaran
Islam, tapi penalaran yang dipakai mu’tazilah dan filsuf kebanyakan produk
Yunani, sehingga mulai melakukan pendekatan ta’wil atau interpretasi metaforis
terhadap kalam Tuhan, yang mereka anggap “mutasyabihât”. Nah, hal ini
disebabkan kuatnya peranan unsur mantik serta dialektika. Maka sistem ini
dinamakan ilmu kalam atau teologi rasional. Sebenarnya tidak hanya mu’tazilah
dan filsuf saja yang mengedepankan nalar, tapi al-Asy’ari pun menggunakan
argumen dan dialektika logis meskipun dalam tataran sekunder.
Metodologi
alAsy’ari yang aristotelian dengan ciri rasional-deduktif rupanya paling mendapatkan
simpatisan, terutama sekali ketika dua abad kemudian Al-Ghazali muncul dengan
membawa kekuatan argumennya yang luar biasa. Bisa disebut bahwa madzhab ini
sebagai jalan tengah dari berbagai ekstremitas. Praktis,
semua titik-titik penting keagamaaan mereka dukung dengan argumen dan dialektik
yang logis, bahkan menjadi inspirator orisinil bagi pemikiran keislaman.
Sebagaimana pembahasan dalam teologi, pusat argumentasi kalam al-Asy’ari berada
pada upayanya untuk membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh jagad
raya dari ketiadaan (ex nihilo) serta pembuktian adanya hari akhir dan
malaikat. Konsep ‘kasb’ termasuk salah satu teori yang diyakini pengikut
al-Asy’ari, karena pengolahan argumentasinya dinilai sangat logis.
Kajian fikih berkembang pada saat
peralihan zaman Umawiyah ke zaman Abbasiah, yaitu berdirinya “school of
thought” oleh Abu Hanifah (699-767 M.) yang terbentuk dalam lingkungan Irak.
Kekuatan politik untuk menjabarkan penalaran ajaran Islam sangatlah riil,
terlihat dari ekspansi yang berimbas juga pada kodifikasi penalaran dalam
setiap ilmu.
Analogi yang banyak digunakan madzhab ini adalah qiyas dan
pertimbangan kebaikan umum (istihsan). Kemudian Syafi’i meneruskan tema aliran
pemikiran gurunya Anas Ibnu Malik dan mulai mengembangkannya. Dalam tataran
ini, Syafi’i sangat berjasa dengan teori yang dirumuskannya, sebagai dasar
teoritis Sunnah dan pembentukan analogi atau qiyas sebagai metode rasional
untuk mengembangkan hukum itu.
Sementara itu konsensus ulama (ijma’) juga
diterima Syafi’i sebagai bentuk kebiasaan masyarakat. Maka, titik tolak fikih
berkat Syafi’i ada empat yaitu Kitab Suci, hadist Nabi SAW, ijma’ dan qiyas.
Dalam disiplin ilmu nahwu, mantik
dengan analogi-nya sangat berperan penting. Kecenderungan pemakaian qiyas
seiringan dengan munculnya gramatika dan kaedah bahasa, terutama oleh para
ulama bahasa yang ada di Bashrah. Mereka lebih memilih mengkiaskan dengan
metode sima’i terhadap dalil fasih yang mereka pakai untuk ber-istinbath.
Ketelitian dalam mengambil argumen merupakan ciri khas mereka, berbeda halnya
dengan ahli nahwu Kufah. Untuk menetapkan qiyas mereka tidak sepenuhnya
selektif terhadap dalil-dalil yang akan dipakai, hal ini bisa dikarenakan
keterpengaruhan pemikiran mereka dengan corak filsafat Persia yang lebih
mengutamakan logika akal dari pada dalil.
Adapun faktor lainnya, yaitu
keterbatasan sumber-sumber dalil di samping letak geografisnya yang jauh dari
pusat keilmuan dan peradaban. Tidak hanya model qiyas yang digunakan ahlu nahwu
dalam pengambilan hukum, karena ternyata teori illat atau apologi juga banyak
difungsikan.
Jika diruntut dari awal perkembangan
mantik, sudah berapa cabang keilmuan yang telah disisipi kekuasaan logika?
Bahkan sampai kepada pengetahuan yang bertendensi iluminasi atau intuisi sekalipun,
hal ini membuktikan bahwa peran akal beserta rumus-rumusnya akan selalu
dibutuhkan meskipun ada beberapa hal yang dapat berjalan tanpanya.
Tasawuf
sebagai disiplin ilmu irasional, dalam beberapa halnya-pun menggunakan teori
dan asas logika. Politik, sosial, kedokteran, aritmatika, dan masih banyak
disiplin ilmu lain yang pasti membutuhkan aturan berpikir untuk mencapai sebuah
kebenaran yang dituju. Namun, kebenaran ilmu pengetahuan sifatnya relatif,
sedangkan agama kebenaran yang dituju adalah sebuah kebenaran mutlak.
===================
Sumber: https://vivixtopz.wordpress.com
Gambar : https://warungnyepit.blogspot.co.id
No comments:
Post a Comment