Thursday, November 22, 2018

ANOTASI PUTUSAN PIDANA KHALWAT (MESUM) PADA MAHKAMAH SYAR’IYAH TAKENGON

ANOTASI PUTUSAN PIDANA KHALWAT (MESUM) PADA MAHKAMAH SYAR’IYAH TAKENGON
NOMOR : 01/JN/2014/MS-TKN.




Oleh

FURQAN AR-RASYID
NIM : 27153068-2


Mata Kuliah
PERADILAN ISLAM INDONESIA

Dosen Pembimbing :
PROF. DR. H. A. HAMID SARONG, SH.



TUGAS MAKALAH KULIAH UIN AR-RANIRY 


PASCASARJANA-KONSENTRASI FIQH MODERN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM - BANDA ACEH

2016

-------------------------



Anotasi Putusan Pidana Khalwat (Mesum) pada Mahkamah Syar’iyah Takengon
Nomor: 01/JN/2014/MS-Tkn.


Abstrak

            Umat Islam di Aceh kini sudah bisa menikmati legalitas pemberlakuan dan pelaksanaan Syariat Islam sepenuhnya.Seiring dengan diberlakukannya Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus juga dengan disahkannya Undang-undang Pemerintahan Aceh No. 11 tahun 2006, artinya provinsi Aceh sekarang sudah bisa dengan leluasa menata aturan keberagamaan di daerahnya sendiri sesuai legalitas yang telah diatur Undang-Undang. Kemudian pemerintah daerah merespon undang-undang otonomi khusus tersebut dengan memberlakukan beberapa peraturan daerah terkait beberapa ketentuan rumah tangga pemerintahan Aceh, diantaranya adalahperaturan daerah dan qanun yang berbicara tentang aturan pelaksanaan Syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah. Qanun No. 14 tahun 2003misalnya, aturan khusus tentang khalwat (mesum) ini merupakan satu di antara sekian banyak Qanun-qanun lainnya yang mengatur pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah dan totalitas. Aturan tentang larangan khalwat ini berlaku di Aceh dan diatur dalam Pasal 1 Ayat 2 Qanun no. 14 tahun 2003 tersebut, bahwa setiap orang atau individu dilarang melakukan tindak pidana khalwat yaitu perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim tanpa ikatan perkawinan.Ketentuan tentang Qanun ini dapat kita lihat dari beberapa penjelasan yang ada dalam Putusan Mahkamah Syariah Takengon tentang tindak pidana khalwat dengan nomor 01/JN/2014/MS-Tkn.

Kata Kunci: Anotasi Putusan, Mahkamah Syariah, Takengon, Qanun, Khalwat.

A.    Pendahuluan
Masyarakat Aceh telah lama mengidam-idamkan pemberlakuan Syariat Islam di negerinya. Konflik dan pergolakan yang selama ini terjadi di Aceh ada adalah buah dari dari kekecewaan sekaligus tuntutan masyarakat Aceh kepada Pemerintah pusat agar memberikan izin kepada Aceh mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam.[1]

            Aceh sebagai salah satu jalur masuknya Islam di Indonesia, sejak masa kesultanan sudah terbiasa hidup dalam koridor syariat.Aturan yang ada waktu itu berasaskan asas-asas Islam yang begitu kental.Maka sejak kemerdekaan Indonesia, Aceh berikut aturannya diatur dalam aturan resmi Negara yang sedikit-banyak keluar dari harapaan yang diinginkan, maka di mata masyarakat Aceh hal semacam itu adalah suatu pengkhianatan.

            Pergolakan pun terjadi –ketika itu- Masyarakat Aceh berjuang habis-habisan menuntut haknya yang dilupakan Indonesia, salah satunya adalah hak untuk mengatur pemerintahannya sendiri sesuai dengan syariat Islam.[2]

            Permintaan masyarakat Aceh ini barulah dijawab pemerintah pusat pada tahun 2001 dengan diberikannya hak otonomi khusus kepada pemerintah dan masyarakat Aceh melalui Undang-undang No. 18 tahun 2001.Kemudian beberapa tahun setelahnya lahirlah kemudian Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang diatur dalam undang-undang No. 11 tahun 2006.UUPA ini lahir dari pembahasan beberapa poin yang ada dalam Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki Finlandia tahun 2005; perjanjian perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia (RI).

Keberadaan Undang-undang ini dan legalitasnya merupakan angin segar bagi Pemerintah Aceh untuk membuka corong lahirnya peraturan-peraturan daerah yang bersinggungan langsung dengan upaya penetrasi dan memaksimalkan hak otonomi ini dan pelaksanaan pemerintahan Aceh, salah satu yang difokuskan adalah tentang pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.

Tatanan pelaksanaan syariat Islam di Aceh meliputi persoalan Aqidah, Syari’ah dan Akhlaq.Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam.Sementara non-muslim yang berada di Aceh juga diharuskan menghormati pelaksanaan syari’at Islam ini, sebab pelaksanaan Syariat Islam di Aceh bersifat territorial, bukan individual.

Kemudian dalam upaya justifikasi setiap pelanggaran atau kesalahan yang terjadi, Aceh menerapkan system Peradilan Syariat Islam.Peradilan ini merupakan bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkup agama yang bertugas menyelesaikan pelanggaran dan sengketa-sengketa dalam urusan agama.

Proses penyelesaiandan pengadilannyaberlangsung di Mahkamah Syar'iyah yang tersebar di tiap-tiap kabupaten dan Provinsi Aceh.Mahkamah Syar’iyah Kabupaten dan Kota sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding.Putusan Mahkamah Syar'iyah provinsi dapat dimintakan kasasinya kepada Mahkamah Agung.Hakim-hakim yang bertugas pada Mahkamah Syar’iyah ini diangkat dan diberhentikan langsung oleh Presiden sesuai usulan dari ketua Mahkamah Agung, jadi Mahkamah Syar’iyyah ini sepenuhnya berada di bawah mahkamah Agung Republik Indonesia.

Setiap pelanggaran syari’at yang terjadi diklasifikan ke dalam ranah hukum keluarga,  hukumperdata dan hukum Pidana yang acuan dan aturannya didasarkan kepada Qanun Syariat Islam Aceh.
            Begitulah ketentuan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh diatur sedemikian rupa guna mewujudkan pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh secara kaffah dan juga untuk mewujudkan peradilan Islam yang nyaman dan tuntas penyelesaiannya.

B.     Kasus Posisi

Bahwa terdakwa Rumi Maharami binti Maskur Amin, selanjutnya sebagai terdakwa I dan Multazem bin Mahmud, selanjutnya sebagai terdakwa II pada hari Kamis tanggal 5 September 2013 sekitar pukul 23.00 WIB, bertempat di kampong Mongal, Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam wilayah Hukum Mahkamah Syar’iyyah Takengon, telah melakukan tindak pidana khalwat di wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah Takengon.[3]

Perbuatan terdakwa adalah perbuatan pidana yang dapat dikenakan hukum sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 Qanun No. 14 tahun 2003 Provinsi Aceh sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, selain melanggar Qanun 14, terdakwa I dan terdakwa II juga melanggar aturan dan norma yang berlaku sehingga perlu adanya hukuman agar tertib hukum bisa terjaga dengan baik demi kemaslahatan orang banyak. Sebab hukum diperlukan untuk penghidupan di dalam masyarakat demi kebaikan dan ketentraman bersama.

Bahwa pada tanggal 5 September 2013 sekitar pukul 23.00 WIB atau setidak-tidaknya dalam bulan September tahun 2013, saksi Sabri Taryus yang merupakan teman dari Alwinsyahsuami terdakwa I bertemu dengan terdakwa I setelah terdakwa I makan malam dengan terdakwa II di Cafe November Terminal Bus Takengon. Ketika itu terdakwa I sedang mengisi pulsa di salah satu counter Hp kawasan terminal, lalu menyapa saksi Sabri Taryus dengan sapaan singkat dan kembali menuju ke arah mobil Avanza yang dikemudikan terdakwa II. Karena curiga akhirnya saksi Sabri Taryus bersama rekannya saksi Muhammad Jali bin A. Saleh yang juga merupakan anggota polisi polres Benar Meriah membuntuti Mobil yang dikendarai para terdakwa. Para saksi meminta terdakwa untuk berhenti namun tidak digubris oleh terdakwa II, sampai akhirnya mobil berhenti di rumah orang tua terdakwa II di Kampung Mongal, untuk kemudian keduanya dibawa ke Mapolres Aceh Tengah.

Kecurigaan para saksi ini muncul karena saksi Sabri Taryus mengenali terdakwa I yang merupakan Istri sah dari rekannya, sedangkan saat itu terdakwa I bukan bersama suaminya akan tetapi bersama terdakwa II (orang lain), kecurigaan ini terus berlanjut karena terdakwa II terlihat ketakutan ketika bertemu saksi Sabri Taryus. Saksi Sabri Taryus melihat perlu pemantauan khusus terhadap perilaku kedua terdakwa ini, sebab ia mengenali terdakwa I dan hal ini terjadi juga untuk menjaga kemaslahatan rumah tangga antara terdakwa I dan suaminya.

Apa Yang dilakukan saksi Sabri Taryus adalah bentuk preventif kepada hal-hal yang tidak diinginkan, mencari tahu apa hubungan antara terdakwa I dan terdakwa II sehingga bepergian bersama tanpa didampingi muhrim atau suaminya.Adakah mereka melakukan sesuatu yang dilarang dalam agama? Jikalau terdakwa I dan terdakwa II tidak melakukan perbuatan khalwat maka perbuatan saksi Sabri Taryus dan saksi Muhammad Jalil bin A. Saleh ini termasuk perbuatan mulia karena menutup celah bagi orang lain yang berniat melakukan pelanggaran atau maksiat. Jikalau terdakwa I dan terdakwa II telah melakukan perbuatan khalwat maka perbuatan para saksi-saksi ini juga dihitung sebagai upaya penegakan hukum dan memberantas kebatilan.

Bahwa dalam wilayah Syariat Islam Aceh secara umum dan wilayah hukum Takengon secara khusus telah ditetapkan aturan dan Qanun yang membahas tentang hal di atas.Khususnya Qanun no. 14 tahun 2003 yang berbicara tentang khalwat (mesum) atau segala hal yang dilakukan yang mengarah kepada zina.

C.    Tentang Dakwaan

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaan primairnya menuntut Terdakwa I dan terdakwa II dengan dakwaan telah melanggar Qanun no. 14 tahun 2003 Provinsi Aceh, yaitu tentang tindak pidana khalwat (mesum) sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 4 Qanun No. 14  Provinsi Aceh tahun 2003. Terdakwa I dan terdakwa II dianggap telah melakukan perbuatan mesum sesuai dengan bunyi Pasal 1ayat 20 Qanun No. 14ini; “Khalwat atau mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan  muhrim atau tanpa ikatan perkawinan”.

Dakwaan JPU ini  mengisytiharkan mukallaf sebagai subjek hukum yang ditujukan kepada siapa saja yang beragama Islam di wilayah territorial Aceh (Locus Dilecti), lelaki atau perempuan dan melakukan perbuatan dimaksud (khalwat) dengan sukarela dan tanpa ada paksaan maupun ancaman dari pihak manapun. Maka dengan ini jelaslah bahwa terdakwa I dan terdakwa II telah melakukan pelanggaran tindak pidana khalwat ini.

Kemudian yang dimaksud dengan khalwat itu sendiri adalah bahwa setiap orang atau individu dilarang melakukan perbuatan bersunyi-sunyi diantara mereka yang berlainan jenis dan bukan muhrim tanpa ikatan perkawinan.

Dakwaan ini pula perpanjangan tangan dari penjabaran isi Qanun No. 14 tahun 2003 ini, bahwa tingkat keresahan Masyarakat Aceh semakin meningkat akibat maraknya prilaku mesum di Aceh. Dalam upaya pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh masalah pidana khalwat haruslah mendapat perhatian khusus seiring banyaknya pelanggaran yang terjadi.Memberantas khalwat adalah bagian dari memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Bumi Aceh.

Selain itu ada juga beberapa tindak pidana lainnya yang diatur secara khusus melalui Qanun tersendiri, seperti masalah khamar (mabuk-mabukan), maisir (perjudian), dan beberapa perkara pidana lainnya seperti : zina, pemerkosaan, pelecehan seksual, qazaf, liwath, musahaqah dan ikhtilath yang kesemuanya itu menjadi wewenang penuh Mahkamah Syariah di wilayah hukum setempat.


D.    Tentang Delik Jinayat

Delik Jinayat mengharuskan subjek hukumnya adalah seorang mukallaf, baik ia laki-laki maupun perempuan, sebab nantinya kepada mukallaf itulah dibebankan pertanggungjawaban atas perbuatannya yang melanggar itu. Jika dalam pasal suatu Qanun kita dapati penggunaan kata-kata ‘setiap orang’ maka maksudnya adalah setiap orang yang sudah mukallaf dan merdeka sertadapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Penerimaan tanggung jawab hukum akibat pelanggaran tindak pidana yang ia ciptakan haruslah berasaskan sifat taklif, sehat akalnya sehingga mampu menentukan kehendaknya (merdeka dan bisa memilih antara melakukan atau tidak melakukan) dan terhindar dari paksaan-paksaan atau tekanan yang bersumber dari luar dirinya.

            Hukum pidana pada dasarnya mengikat seseorang untuk selalu menciptakan rasa aman dan tentram; tentunya dengan tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran yang bisa menimbulkan kekacauan yang bisa merugikan dirinya atau bahkan orang lain. Jika ia seorang muslim maka kebutuhannya akan konsep delik jinayat sudahlah menjadi kewajiban, sebab pertautan antara hukum jinayat dan terwujudnya syariat Islam secara kaffah adalah hal yang krusial bagi dirinya, disamping itu hal demikian juga termasuk ta’abbud nya kepada Allah SWT. Menghindari diri agar tidak terjerembab dalam maksiat adalah ciri mukmin sejati dan bentuk keta’atannya kepada Allah SWT.

            Secara khusus agama Islam telah menuntun umatnya ke arah itu, hukum jinayat bukanlah semata-mata kausalitas sebab akibat, akan tetapi juga berguna sebagai tindakan preventif ajaran agama agar muslim tidak menceburkan dirinya dalam perbuatan yang dimurkai Allah SWT. Kemudian bila delik jinayat ini dikaitkan dengan kehidupan sesama manusia tentunya akan kita temukan hikmah yang begitu besar di sebalik adanya hukum dan hukuman tindak pidana jinayat ini, baik untuk subjek hukum maupun orang lain.

            Persoalan khalwat dalam istilah pidana dikategorikan kepada delik formil, artinya fokusnya ada pada persoalan kaitannya dengan undang-undang, dengan kata lain iaadalah suatu perbuatan pidana yang sudah selesai dilakukan dan perbuatan itu mencocoki rumusan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan.[4]

            Dalam persoalan khalwat tidaklah diharuskan adanya efek dari perbuatan tersebut, jika suatu perbuatan –khalwat- misalnya sudah bertentangan dengan butir-butir Qanun yang ada di Aceh, maka jelaslah si subjek hukum harus mendapatkan hukuman sesuai ketentuan wilayah hukum tersebut di Aceh.Khalwat sebagai delik formil lebih mengingat seseorang dengan teks atau aturan undang-undang, tindak pidana khalwat tidak mengharuskan adanya efek yang ditimbulkan akibat perbuatan khalwat itu sendiri, seperti hubungan suami istri, lahirnya anak di luar nikah, kerugian materil, kehormatan keluarga terdakwa dan lain-lain. Delik formil tidak berbicara sampai ke situ, tetapi lebih terkait kepada bentuk ‘melanggar’ dari aturan yang ada.Begitu pelanggaran itu terjadi dan unsur-unsurnya terpenuhi, maka terdakwa sudah sah dijatuhi hukuman oleh pengadilan (mahkamah).

            Dalam delik jinayat khalwat ini terlihat ada semacam upaya preventif yang di atur oleh Qanun Islam, pelarangan khalwat semata-mata adalah pencegahan agar tidak terjerumus kepada zina; yang porsi maksiat dan hukuman yang diterima nantinya akan lebih besar. Dalam istilah studi fiqh islam pelarangan ini di dalam Ushul Fiqh dikenal dengan istilah Sadd al-Zari’ah, maksudnya menutup celah agar tidak terjadi kejahatan yang lebih besar.[5]Jikalau pintu menuju kepada zina ada pada khalwat, maka peluang terjadinya zina itu sudah ditutup sejak dari pintu pertamanya (khalwat).

            Hukum agama dalam bentuk Syariat Islam, jikalau belum dibakukan secara resmi menjadi hukum positif oleh pemerintah atau negara ianya hanyalah sebatas hukum cita-cita, hukum cita-cita tidaklah punya kekuatan apa-apa dalam penerapannya terhadap publik. Oleh karena itu patut diapresiasi usaha pemerintah Aceh untuk memasukkan hukum-hukum islam ini –seperti persoalan khalwat, maisir dan khamar - ke dalam hukum positif. Tujuannya tidak lain agar pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dapat dilaksanakan dengan sistematis, teratur dan punya landasan terapan yang kuat di hadapan publik.

            Hukum dengan segala ketentuannya secara umum bertujuan menciptakan masyarakat yang tentram, aman dan terjamin kenyamanannya.Hukum menjanjikan masyarakat yang madani, dinamis dan modern.Begitu juga kaitannya dengan proses pelaksanaan syari’at Islam di Aceh diatur sedemikian rupa guna mewujudkan masyarakat muslim yang tertib hukum, sehingga tujuan penghambaan diri kepada Allah SWT dan mengharapkan ridha-Nya dapat diwujudkan dengan baik.
           
Pelaksanaan hukum berupaya untuk melindungi kepentingan umum terhadap perbuatan yang akan merusaknya. Kemudian juga secara khusus hukum juga berfungsi sebagai Social Control (kontrol social) yang bersifat subsidair, artinya penggunaan hukum barulah bisa diadakan apabila upaya-upaya yang lain telah dilakukan dan dirasa kurang memadai.[6]

E.     Tentang Pembuktian

            Berdasarkan fakta-fakta dan penjelasan yang terungkap selama proses persidangan berlangsung terdakwa I dan terdakwa II adalah pelaku yang merdeka, dalam artian tidak sedang dalam pengaruh atau tekanan dan paksaan orang lain. Terdakwa I dan terdakwa II dipandang cakap dari sisi lahir maupun batinnya, sehingga keduanya sah menjadi subjek hukum yang dikenakan pidana. Dalam fiqh islam dan turunannya seperti yang ada dalam Qanun-qanun pidana di Aceh sekarang, menjadikan status mukallaf sebagai syarat utama dalam penjatuhan jerat hukum, kemudian perkara pidananya dilakukan dengan sadar dan sukarela. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan utama dalam kebanyakan dakwaan JPU atau pertimbangan dewan majelis hakim sendiri, sehingga tak jarang kita dapati beberapa terdakwa biasanya akan terkurangi hukumannya atau bahkanterlepas dari jeratan hukum karena ketiga unsur subjek hukum di atas tidak ada secara lengkap pada diri terdakwa.

            Berdasarkan pengakuan kedua terdakwa I dan terdakwa II bahwa benar keduanya sepakat untuk makan malam di Terminal Bus Takengon, tepatnya di Café November, selesai makan terdakwa I kemudian  mengisi pulsa di salah satu Counter Hp. Terdakwa I sehari-hari bekerja di RSU Munyang Kute Bener Meriah, sedangkan terdakwa II yang baru tiba dari Blangkejeren mengajaknya makan malam, dari RSU keduanya berangkat ke Café November dengan Mobil Avanza rental milik Afni Mahara bin Nur Hasyim yang disewa oleh Terdakwa II. Selanjutnya terdakwa I juga mengakui bertemu dengan Sabri Taryus ketika mengisi pulsa di Counter Hp dan kemudian terjadilah pengejaran mobil yang digunakan terdakwa I dan terdakwa II oleh saksi Sabri Taryus dan Saksi Muhammad Jali bin M. Saleh hingga keduanya ditangkap di kampong Mongal. Kemudian yang terakhir keduanya terdakwa I dan terdakwa II membantah telah melakukan tindak pidana mesum (Khalwat).

            Jaksa Penuntut Umum menghadirkan 3 (tiga) orang saksi dalam persidangan. Yaitu saksi Afni Mahara bin Nur Hasyim, Saksi Muhammad Jali bin M. Saleh dan saksi Sabri Taryus bin Saiful Bahri. Dari keterangan saksi-saksi dapat diperoleh informasi sebagai berikut:

            Saksi Afni Mahara bin Nur Hasyim juga dipanggil ke persidangan karena tersangkut barang bukti Mobil Avanza miliknya yang disewa oleh Terdakwa II. Saksi yang juga anggota polres Aceh tengah ini mengaku tidak mengenal terdakwa I dan ia hanya kenal dengan terdakwa II, ia tidak tahu menahu terkait peristiwa tindak pidana ini, ia baru tahu ketika terdakwa II menelponnya dan memberi tahu bahwa mobil Avanza miliknya telah ‘diamankan’ petugas.

            Saksi Muhammad Jali bin M. Saleh yang juga merupakan anggota polres Bener Meriah dalam penuturannya di hadapan majelis hakim ia mengatakan bahwa ia kenal dengan kedua terdakwa dan terlibat pengejaran terhadap mobil Avanza yang digunakan kedua terdakwa, setelah sebelumnya bertemu rekannuya saksi Sabri Taryus dan juga merasa curiga dengan terdakwa I dan terdakwa II. Selanjutnya saksi Muhammad Jali mengaku tidak melihat apa yang terjadi di antara ke dua terdakwa di dalam mobil mereka ketika proses kejar mengejar itu.

            Saksi Sabri Taryus, mengenal dengan baik terdakwa I karena merupakan istri dari rekannya Alwinsyah, sementara terhadap terdakwa II ia tidak mengenalinya. Kemudian di Counter hp terminal takengon ia disapa oleh terdakwa I dengan sapaan singkat, bang..lalu saksi menanyakan dengan siapa? Kemudian terdakwa I menjawab dengan Saudara. Kemudian saksi Sabri juga bertemu terdakwa II akan tetapi terdakwa II terlihat ketakutan. Karena merasa curiga saksi Sabri Taryus bersama saksi Muhammad Jali akhirnya membuntuti mobil tersebut dan terlibat kejar-kejaran.Saksi Taryus menyuruh mereka berhenti akan tetapi para terdakwa tidak berhenti, hingga akhirnya para terdakwa ditangkap di kampong Mongal dan digiring ke Mapolres. Saksi Sabri Taryus diakhir penuturannya mengatakan bahwa penangkapan itu tidak disertai dengan surat penangkapan.

            Bahwa alat bukti dan barang bukti yang diperoleh dari tangan terdakwaadalah sebuah foto para terdakwa dan 1 (satu) unit Mobil Avanza warna Silver Metalik Nopol.BL 557 GB.Kedua alat bukti dan barang bukti di atas diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya terhadap kedua terdakwa.Tuntutan JPU semakin kuat berdasarkan pada penuturan saksi dan perolehan alat bukti dan barang bukti yang ada sehingga perbuatan yang didakwakan telah sepenuhnya termasuk dalam kategori tindak pidana Khalwat (mesum). Sedangkan tindak pidana khalwat ini telah diatur dalam Qanun no. 14 tahun 2003 provinsi Aceh, maka oleh JPU kedua terdakwa dengan dalil yang ada telah melanggar Qanun tersebut, sebab perbuatan khalwat termasuk perbuatan yang dilarang agama dan dilarang di Aceh melalui Qanun-Qanun yang ada.

F.     Penanggungjawab terjadinya delik

            Delik khalwat yang dilakukan terdakwa I dan terdakwa II berlangsung dalam keadaan sadar, normal dan rela.Oleh karena itu kepada keduanya dapat dimintakan pertanggungjawabannya, karena keduanya dipandang mampu secara lahir dan batin mengemban dakwaaan yang dijatuhkan.Terdakwa I dan terdakwa II dipandang cakap dan mengerti akan resiko dan efek dari perbuatan mereka yang bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku serta kemampuan mereka untuk memunculkan perbuatan tersebut atau tidaknya, dalam arti kata perbuatan yang dilakukan oleh kedua terdakwa adalah perbuatan sukarela dan suka sama suka tanpa paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

            Qanun No. 14 tahun 2003 secara jelas menyebutkan bahwa kegiatan khalwat meliputi seluruh rangkaian kegiatan yang bisa menjerumuskan kepada zina, sedangkah khalwat sendiri dipandang sebagai pintu awal pembuka terjadinya perbuatan zina.Oleh karena bagi setiap muslim mukallaf yang melakukan khalwat dan dia berada di ranah hukum Syariat maka dianggap telah melakukan tindak pidana pelanggaran Syariat. Kesalahan terdakwa I dan terdakwa II bisa dipahami dari poin berikut; (1) Bepergian tanpa didampingi muhrim ;(2) Berdua-duaantanpa ikatan perkawinanketika di dalam mobil.
           
            Jaksa Penuntut umum dalam dakwaannya sangat jelas menjatuhkan dakwaan bersalah bersalah terhadap para terdakwa karena melanggar Qanun No. 14 tahun 2003, yaitu bahwa kedua diri terdakwa ada unsursubjek hukum yang sah, yaitu terdakwa I dan terdakwa II adalah mukallaf atau dengan bahasa dalam Qanun disebut dengan ‘setiap orang, kemudian tidak ditemukan kecacatan pada keduanya, baik cacat lahir maupun cacat mental. Kemudian JPU menambahkan bahwa keduanya telah bersunyi-sunyi dan tidak punya ikatan perkawinan yang sah, maka dengan ini keduanya telah sah untuk didakwa melakukan pelanggaran terhadap Syariat Islam, yaitu melakukan khalwat.

G.    Tentang Pertimbangan Hukum

Terdakwa telah memahami isi dakwaannya seperti yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum, membenarkannya, dan tidak keberatan atasnya.Akan tetapi menyangkal bahwa merekamelakukan perbuatan mesum. Menurut terdakwa I dan terdakwa II mereka memang benar telah melakukan perjalan ke Terminal Takengon dan makan malam berdua di Café November, akan tetapi tidak melakukan perbuatan khalwat (mesum). Kemudian pengakuan terdakwa II bahwa mereka bukan melarikan diri akan tetapi karena menghindar anggota kepoisian yang mengejarnya.

               Terdakwa I didampingi penasehat hukum dalam persidangan, sedangkan terdakwa II tidak menyediakan atau didampingi penasehat hukum.Penasehat hukum terdakwa I, Basyrah Hakim, SH. dalam pledo tertulis lebih kurang menyatakan bahwa terdakwa I dan terdakwa II tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana mesum sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum.Kemudian penasehat hukum terdakwa meminta kepada majelis hakim membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dan menetapkan agar biaya perkara dibebankan kepada Negara.Dengan demikian pembelaannya terhadap terdakwa sudah cukup memadai.

               Selanjutnya dalam pertimbangan majelis hakim, baik setelah mendengar replik dari Jaksa Penuntut Umum dan duplik dari para terdakwa, maka perlu disebutkan beberapa pertimbangan hukum dewan majelis hakim yang tertera dari putusan tersebut:

1.      Istilah atau bunyi Pasal dalam Qanun dan putusan.

Hal ini didasarkan pada dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum dalam pasal 22 ayat (2) jo pasal 5 Qanun Provinsi Aceh No. 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum). Benar sesuai dakwaan JPU bahwa terdakwa memiliki unsur subjek hukum, yaitu beragam Islam, mukallaf, perbuatannya itu dilakukan secara sukarela dan tanpa paksaan atau tekanan dari pihak lain. Akan tetapi dalam persidangan terungkap bahwa tidak ada satupun saksi yang melihat terdakwa I dan terdakwa II berada di suatu tempat yang bisa dianggap melakukan perbuatan khalwat.Kemudian dalam putusan disebutkan istilah khalwat sebanyak 35 kali, mesum sebanyak 18 kali, berdua-dua sebanyak 1 kali, bersunyi-sunyi sebanyak 5 kali.Sebenarnya istilah-istilah tersebut dianggap memiliki pemahaman yang sama. Ada banyak istilah yang digunakan oleh masyarakat Aceh ataupun yang dikenal oleh masyarakat Indonesia secara umum.Intinya adalah segala perbuatan yang mengarah kepada zina.

2.      Dalam putusan terlihat jelas bahwa terdakwa I dan terdakwa II sudah memahami dengan sangat baik isi putusan walaupun dengan penggunaan Istilah-istilah berbeda seperti yang disebutkan di atas. Terdakwa setuju dan tidak menyangkal kesaksian yang disampaikan oleh para saksi dan replik Jaksa Penuntut Umum serta membenarkan kronologi peristiwanya, akan tetapi para terdakwa menyangkal telah melakukan perbuatan khalwat.

3.      Para terdakwa (terdakwa I) didampingi penasehat hukum. Ini mengindikasikan bahwa terdakwa hukum keberatan dengan gugatan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum. Di dalam persidangan terdakwa tidak menerima jika dikatakan telah melakukan khalwat. Terdakwa I khususnya berusaha untuk mencari jalan agar dirinya bebas dari dakwaan hukum dengan mendatangkan penasehat hukum. Apayang dilakukan oleh terdakwa adalah usaha pembelaan terhadap dirinya; dengan melakukan duplik dari repliknya Jaksa Penuntut Umum. Terdakwa keberatan atas tuduhan yang tidak pernah dilakukannya.

4.      Majelis Hakim mempertimbangkan tentang dalil yang diungkapkan Jaksa Penuntut Umum yang mendakwa terdakwa telah melakukan tindak pidana khalwat, JPU dalam dakwaannya bahwa terdakwa I dan terdakwa II telah bersunyi-sunyi dengan tanpa ikatan perkawinan. Menurut pertimbangan majelis hakim bahwa dalam kasus ini terdakwa I dan terdakwa II tidak dapat dikatakan bersunyi-sunyi, sebab para terdakwa di tangkap saat selesai makan di Café November dan setelah mengisi pulsa, tentunya kegiatan terdakwa I dan II di lokasi itu tidaklah bisa dikatakan bersunyi-sunyi. Terkecuali jika terdakwa sedang berduaan di suatu tempat yang sunyi dan jauh dari keramaian. Jika yang didalilkan JPU adalah berdua-duan di dalam perjalanan, maka majelis hakim mempertanyakan tentang berdua-duaan orang lain dalam mobil atau motor bukan dengan suaminya. Mengapa tidak dilakukan penangkapan? Jadi persoalan khalwat dalam kasus terdakwa I dan terdakwa II apakah dilakukan di tempat yang sunyi atau sedang duduk berduaan atau tidak? Kemudian mempertimbangkan juga bahwa dari saksi-saksi yang didatangkan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak satupun di antara mereka ada yang melihat langsung, mendengar atau mengalaminya sendiri pidana khalwat yang dilakukan oleh para terdakwa. Dengan demikian unsur-unsur tindak pidana khalwat dalam Qanun no. 14 tahun 2003 seperti yang didalilkan Jaksa Penuntut Umum tidak sepenuhnya terpenuhi.[7]

5.      Majelis hakim mempertimbangkan bahwa foto terdakwa yang sedang bermesraan tidak dapat dijadikan alat bukti. Karena kegiatan foto tersebut dilakukan bukan pada terjadinya penangkapan, akan tetapi foto tersebut dilakukan jauh sebelum hari atau malam penangkapan. Selain itu menurut pertimbangan majelis hakim foto para terdakwa bukanlah alat bukti elektronik, melainkan hanya selembar foto biasa yang tidak menjadi alat bukti.

6.      Majelis hakim mempertimbangkan dakwaan subsidair yang menyebutkan bahwa terdakwa telah melanggar pasal 22 ayat (2) jo pasal 4 Qanun Provinsi Aceh No. 14 tahun 2003 bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan khalwat atau mesum yang hukumnya haram. Menurut majelis hakim unsur-unsur pelanggaran tindak pidananya seperti yang disebutkan dalam pasal tidak lengkap sebab keadaan mereka tidak bersunyi-sunyi. Ditambah lagi tidak ada satupun saksi yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri bahwa terdakwa I dan terdakwa II telah melakukan perbuatan khalwat (mesum).

7.      Bahwa tidak terpenuhi unsur pembuktian dalam dakwaan primair dan subsidair maka terdakwa I dan terdakwa II harus dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana khalwat seperti yang didakwakan.Oleh karena itu para terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut.

8.      Bahwa terdakwa I dan terdakwa II dibebaskan dari dakwaan maka segala hal yang berkenaan dengan harkat martabat, nama baik, kemampuan dan kedudukan para terdakwa harus dipulihkan, alat bukti yang berupa foto yang disita dari para terdakwa dikembalikan ke para terdakwa, 1 (satu) unit Mobil Avanza Silver metalik dikembalikan lagi ke pemiliknya dan seluruh biaya perkara dibebankan kepada Negara.

H.    Penutup

Dalam kasus tindak pidana unsur-unsur pelaku dan perbuatan yang ada didalamnya haruslah terpenuhi, jika tidak maka tidak dapat dianggap melakukan tindak pidana dan para terdakwa harus dinyatakan bebas tanpa syarat.Namun jika semua unsurnya terpenuhi maka dengan sangat jelas berarti terdakwa telah melakukan tindak pidana.Akibat yang diterima nantinya karena melakukan tindak pidana bersifat memaksa dan tidak ada tawar menawar.

Unsur-unsur tindak pidana ini haruslah mengacu kepada ketentuan yang ada di dalam undang-undang atau Qanun tertentu sesuai jenis perkaranya.Betapapun kuatnya dakwaan jaksa penuntut umum akandapat dikalahkan dengan mencocokkan kebenarannya sesuai dengan yang tertera di dalam butir-butir pasal dari suatu Undang-undang.

Kemudian pelaksanaan persidangannya dilimpahkan kepada mahkamah syariah yang berada di tempat terjadinya perkara, sebab subjek hukumnya terikat dalam batas wilayah hukum tertentu[8].Mahkamah syariah kabupaten dan Kota dalam suatu wilayah provinsi berfungsi sebagai pemutus hukum tingkat I, apabila nantinya ditemukan hal-hal yang memberatkan terdakwa bisa mengajukan ke Mahkamah tingkat Provinsi.

Langkah-langkah penetapan hukum dan prosesinya dianggap sebagai upaya menciptakan masyarakat yang sadar hukum agar ketentraman dan kenyamanan dalam hidup bermasyarakat bisa diperoleh dengan baik.

------------------ 


DAFTAR PUSTAKA


Al-Zuhailiy, Wahbah.Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh,  Damaskus: Dar al-Fikr, 1999.

Lamintang,Drs. P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984.

Projodikoro,Wirjono.Hukum Acara Pidana di Indonesia, PT. Sumur, Bandung, 1970

Ramdan, Arif. Aceh di Mata Orang Sunda, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2007.

Remmelink, Jan. Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 tahun 2003TentangKhalwat (Mesum), Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor27 Seri D Nomor 14



[1]Janji Soekarno kepada Gubernur Militer Aceh, Abu Daud Beureueh, rujuk: Arif Ramdan, Aceh di Mata Urang Sunda, Bandar Publishing, 2007.Ketika di awal-awal pengukuhan kemerdekaan Indonesia Presiden Soekarno meminta bantuan kepada masyarakat Aceh.sebagai rasa terima kasihnya Soekarno menjanjikan hak syariat Islam di Aceh di depan masyarakat Aceh dan Daud Beureueuh kala itu.
[2]Penulis tidak ingin membahas tentang tuntutan politik dan pengelolaan kekayaan Aceh yang ada di dalamnya, dikhawatirkan nantinya akan melebar. Fokus penulis adalah pada masalah tuntutan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
[3]Menyebutkan waktu dan tempat secara pasti adalah hal yang tidak mudah, namun dua hal itu adalah hal yang harus diketahui dan diusahakan penyebutannya dalam putusan, keduanya terkait dengan persoalan locus delicti (tempat terjadinya perkara) dan tempus delicti (waktu terjadinya perkara).
[4]Delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.Rujuk; Drs. P.A.F. Lamintang,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Sinar Baru, 1984) hlm. 213.
[5]Wahbah al-Zuhailiy, Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999) hlm.108
[6]Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 15. Dalam penjelasannya Jan Remmelink menyebutkan bahwa reaksi yang ditimbulkan hukum terhadap suatu pidana haruslah seimbang dan bersifat adil, apabila belum ada kesesuaian atau terdapat ketidakadilan maka hukum haruslah memberikan reaksi yang lain.
[7]Keterangan saksi juga berperan sebagai alat bukti.Dalam hal ini keterangan yang bersumber dari saksi juga harus diteliti dengan seksama, saksi yang berperan sebagai alat bukti tentu tidak terlepas dari esensinya sebagai subjek hukum biasa, yang memungkinkan terjadinya kesalahan dan keragu-raguan dalam ingatan dan reka keterangan. Seorang saksi harus menceritakan hal yang sudah lampau, dan tergantung dari daya ingat dari orang perseorang, apa itu dapat dipercaya atas kebenarannya. Lihat: Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, PT. Sumur, Bandung, 1970, hal. 7.
[8]Pemberlakuan hukum berdasarkan tempatnya, atau yang biasa dikenal dengan Asas Teritorial atau Asas Wilayah; dalam asas territorial pemberlakuan hukum tidak mempersoalkan siapa yang melakukan tindak pidana di wilayah itu, akan tetapi pelaksanaan hukum didasarkan pada batas territorial wilayah tertentu. Artinya siapapun dia, warga Indonesia atau warga asing, muslim atau non muslim yang melakukan tindak pidana di wilayah Aceh, akan dikenakan sanksi sesuai aturan (qanun) yang berlaku di Aceh.

No comments:

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel