ANOTASI PUTUSAN PIDANA KHALWAT (MESUM) PADA MAHKAMAH SYAR’IYAH
TAKENGON
NOMOR : 01/JN/2014/MS-TKN.
Oleh
FURQAN
AR-RASYID
NIM :
27153068-2
Mata Kuliah
PERADILAN ISLAM INDONESIA
Dosen
Pembimbing :
PROF. DR. H. A. HAMID SARONG, SH.
PASCASARJANA-KONSENTRASI
FIQH MODERN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM - BANDA
ACEH
2016
-------------------------
Anotasi
Putusan Pidana Khalwat (Mesum) pada Mahkamah Syar’iyah Takengon
Nomor: 01/JN/2014/MS-Tkn.
Abstrak
Umat Islam di Aceh kini sudah bisa menikmati legalitas
pemberlakuan dan pelaksanaan Syariat Islam sepenuhnya.Seiring dengan
diberlakukannya Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus juga
dengan disahkannya Undang-undang Pemerintahan Aceh No. 11 tahun 2006, artinya
provinsi Aceh sekarang sudah bisa dengan leluasa menata aturan keberagamaan di
daerahnya sendiri sesuai legalitas yang telah diatur Undang-Undang. Kemudian
pemerintah daerah merespon undang-undang otonomi khusus tersebut dengan
memberlakukan beberapa peraturan daerah terkait beberapa ketentuan rumah tangga
pemerintahan Aceh, diantaranya adalahperaturan daerah dan qanun yang
berbicara tentang aturan pelaksanaan Syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah. Qanun
No. 14 tahun 2003misalnya, aturan khusus tentang khalwat (mesum) ini merupakan
satu di antara sekian banyak Qanun-qanun lainnya yang mengatur pelaksanaan
Syariat Islam secara kaffah dan totalitas. Aturan tentang larangan khalwat ini
berlaku di Aceh dan diatur dalam Pasal 1 Ayat 2 Qanun no. 14 tahun 2003
tersebut, bahwa setiap orang atau individu dilarang melakukan tindak pidana
khalwat yaitu perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih
yang berlainan jenis yang bukan muhrim tanpa ikatan perkawinan.Ketentuan
tentang Qanun ini dapat kita lihat dari beberapa penjelasan yang ada dalam
Putusan Mahkamah Syariah Takengon tentang tindak pidana khalwat dengan
nomor 01/JN/2014/MS-Tkn.
Kata Kunci: Anotasi
Putusan, Mahkamah Syariah, Takengon, Qanun, Khalwat.
A. Pendahuluan
Masyarakat Aceh
telah lama mengidam-idamkan pemberlakuan Syariat Islam di negerinya. Konflik
dan pergolakan yang selama ini terjadi di Aceh ada adalah buah dari dari
kekecewaan sekaligus tuntutan masyarakat Aceh kepada Pemerintah pusat agar
memberikan izin kepada Aceh mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan
Syariat Islam.[1]
Aceh sebagai salah satu jalur
masuknya Islam di Indonesia, sejak masa kesultanan sudah terbiasa hidup dalam
koridor syariat.Aturan yang ada waktu itu berasaskan asas-asas Islam yang
begitu kental.Maka sejak kemerdekaan Indonesia, Aceh berikut aturannya diatur
dalam aturan resmi Negara yang sedikit-banyak keluar dari harapaan yang
diinginkan, maka di mata masyarakat Aceh hal semacam itu adalah suatu
pengkhianatan.
Pergolakan pun terjadi –ketika itu-
Masyarakat Aceh berjuang habis-habisan menuntut haknya yang dilupakan
Indonesia, salah satunya adalah hak untuk mengatur pemerintahannya sendiri
sesuai dengan syariat Islam.[2]
Permintaan masyarakat Aceh ini
barulah dijawab pemerintah pusat pada tahun 2001 dengan diberikannya hak
otonomi khusus kepada pemerintah dan masyarakat Aceh melalui Undang-undang No.
18 tahun 2001.Kemudian beberapa tahun setelahnya lahirlah kemudian
Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang diatur dalam
undang-undang No. 11 tahun 2006.UUPA ini lahir dari pembahasan beberapa poin
yang ada dalam Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki Finlandia tahun 2005;
perjanjian perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik
Indonesia (RI).
Keberadaan
Undang-undang ini dan legalitasnya merupakan angin segar bagi Pemerintah Aceh
untuk membuka corong lahirnya peraturan-peraturan daerah yang bersinggungan
langsung dengan upaya penetrasi dan memaksimalkan hak otonomi ini dan
pelaksanaan pemerintahan Aceh, salah satu yang difokuskan adalah tentang
pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Tatanan pelaksanaan syariat Islam di Aceh
meliputi persoalan Aqidah, Syari’ah dan Akhlaq.Setiap pemeluk agama Islam di
Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam.Sementara non-muslim yang
berada di Aceh juga diharuskan menghormati pelaksanaan syari’at Islam ini,
sebab pelaksanaan Syariat Islam di Aceh bersifat territorial, bukan individual.
Kemudian dalam upaya justifikasi setiap
pelanggaran atau kesalahan yang terjadi, Aceh menerapkan system Peradilan
Syariat Islam.Peradilan ini merupakan bagian dari sistem peradilan nasional
dalam lingkup agama yang bertugas menyelesaikan pelanggaran dan sengketa-sengketa
dalam urusan agama.
Proses penyelesaiandan pengadilannyaberlangsung
di Mahkamah Syar'iyah yang tersebar di tiap-tiap kabupaten dan Provinsi Aceh.Mahkamah
Syar’iyah Kabupaten dan Kota sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah
Syar’iyah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding.Putusan Mahkamah
Syar'iyah provinsi dapat dimintakan kasasinya kepada Mahkamah Agung.Hakim-hakim
yang bertugas pada Mahkamah Syar’iyah ini diangkat dan diberhentikan langsung
oleh Presiden sesuai usulan dari ketua Mahkamah Agung, jadi Mahkamah Syar’iyyah
ini sepenuhnya berada di bawah mahkamah Agung Republik Indonesia.
Setiap pelanggaran syari’at yang terjadi
diklasifikan ke dalam ranah hukum keluarga,
hukumperdata dan hukum Pidana yang acuan dan aturannya didasarkan kepada
Qanun Syariat Islam Aceh.
Begitulah ketentuan pelaksanaan
Syariat Islam di Aceh diatur sedemikian rupa guna mewujudkan pelaksanaan
Syariat Islam Di Aceh secara kaffah dan juga untuk mewujudkan peradilan Islam
yang nyaman dan tuntas penyelesaiannya.
B. Kasus
Posisi
Bahwa
terdakwa Rumi Maharami binti Maskur Amin, selanjutnya sebagai terdakwa I dan
Multazem bin Mahmud, selanjutnya sebagai terdakwa II pada hari Kamis tanggal 5
September 2013 sekitar pukul 23.00 WIB, bertempat di kampong Mongal, Kecamatan
Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang
masih termasuk dalam wilayah Hukum Mahkamah Syar’iyyah Takengon, telah
melakukan tindak pidana khalwat di wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah Takengon.[3]
Perbuatan
terdakwa adalah perbuatan pidana yang dapat dikenakan hukum sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 4 Qanun No. 14 tahun 2003 Provinsi Aceh sesuai dengan
tuntutan Jaksa Penuntut Umum, selain melanggar Qanun 14, terdakwa I dan
terdakwa II juga melanggar aturan dan norma yang berlaku sehingga perlu adanya
hukuman agar tertib hukum bisa terjaga dengan baik demi kemaslahatan orang
banyak. Sebab hukum diperlukan untuk penghidupan di dalam masyarakat demi
kebaikan dan ketentraman bersama.
Bahwa
pada tanggal 5 September 2013 sekitar pukul 23.00 WIB atau setidak-tidaknya
dalam bulan September tahun 2013, saksi Sabri Taryus yang merupakan teman dari
Alwinsyahsuami terdakwa I bertemu dengan terdakwa I setelah terdakwa I makan
malam dengan terdakwa II di Cafe November Terminal Bus Takengon. Ketika itu
terdakwa I sedang mengisi pulsa di salah satu counter Hp kawasan terminal, lalu
menyapa saksi Sabri Taryus dengan sapaan singkat dan kembali menuju ke arah
mobil Avanza yang dikemudikan terdakwa II. Karena curiga akhirnya saksi Sabri
Taryus bersama rekannya saksi Muhammad Jali bin A. Saleh yang juga merupakan
anggota polisi polres Benar Meriah membuntuti Mobil yang dikendarai para
terdakwa. Para saksi meminta terdakwa untuk berhenti namun tidak digubris oleh
terdakwa II, sampai akhirnya mobil berhenti di rumah orang tua terdakwa II di Kampung
Mongal, untuk kemudian keduanya dibawa ke Mapolres Aceh Tengah.
Kecurigaan
para saksi ini muncul karena saksi Sabri Taryus mengenali terdakwa I yang
merupakan Istri sah dari rekannya, sedangkan saat itu terdakwa I bukan bersama
suaminya akan tetapi bersama terdakwa II (orang lain), kecurigaan ini terus berlanjut
karena terdakwa II terlihat ketakutan ketika bertemu saksi Sabri Taryus. Saksi
Sabri Taryus melihat perlu pemantauan khusus terhadap perilaku kedua terdakwa
ini, sebab ia mengenali terdakwa I dan hal ini terjadi juga untuk menjaga
kemaslahatan rumah tangga antara terdakwa I dan suaminya.
Apa
Yang dilakukan saksi Sabri Taryus adalah bentuk preventif kepada hal-hal yang
tidak diinginkan, mencari tahu apa hubungan antara terdakwa I dan terdakwa II
sehingga bepergian bersama tanpa didampingi muhrim atau suaminya.Adakah mereka
melakukan sesuatu yang dilarang dalam agama? Jikalau terdakwa I dan terdakwa II
tidak melakukan perbuatan khalwat maka perbuatan saksi Sabri Taryus dan
saksi Muhammad Jalil bin A. Saleh ini termasuk perbuatan mulia karena menutup
celah bagi orang lain yang berniat melakukan pelanggaran atau maksiat. Jikalau
terdakwa I dan terdakwa II telah melakukan perbuatan khalwat maka
perbuatan para saksi-saksi ini juga dihitung sebagai upaya penegakan hukum dan
memberantas kebatilan.
Bahwa
dalam wilayah Syariat Islam Aceh secara umum dan wilayah hukum Takengon secara
khusus telah ditetapkan aturan dan Qanun yang membahas tentang hal di
atas.Khususnya Qanun no. 14 tahun 2003 yang berbicara tentang khalwat (mesum)
atau segala hal yang dilakukan yang mengarah kepada zina.
C.
Tentang Dakwaan
Jaksa
Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaan primairnya menuntut Terdakwa I dan terdakwa
II dengan dakwaan telah melanggar Qanun no. 14 tahun 2003 Provinsi Aceh, yaitu
tentang tindak pidana khalwat (mesum) sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 4 Qanun No. 14 Provinsi Aceh
tahun 2003. Terdakwa I dan terdakwa II dianggap telah melakukan perbuatan mesum
sesuai dengan bunyi Pasal 1ayat 20 Qanun No. 14ini; “Khalwat atau mesum adalah
perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan
jenis yang bukan muhrim atau tanpa
ikatan perkawinan”.
Dakwaan
JPU ini mengisytiharkan mukallaf sebagai
subjek hukum yang ditujukan kepada siapa saja yang beragama Islam di wilayah territorial
Aceh (Locus Dilecti), lelaki atau
perempuan dan melakukan perbuatan dimaksud (khalwat) dengan sukarela dan tanpa
ada paksaan maupun ancaman dari pihak manapun. Maka dengan ini jelaslah bahwa
terdakwa I dan terdakwa II telah melakukan pelanggaran tindak pidana khalwat
ini.
Kemudian
yang dimaksud dengan khalwat itu sendiri adalah bahwa setiap orang atau
individu dilarang melakukan perbuatan bersunyi-sunyi diantara mereka yang
berlainan jenis dan bukan muhrim tanpa ikatan perkawinan.
Dakwaan
ini pula perpanjangan tangan dari penjabaran isi Qanun No. 14 tahun 2003 ini,
bahwa tingkat keresahan Masyarakat Aceh semakin meningkat akibat maraknya
prilaku mesum di Aceh. Dalam upaya pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh masalah
pidana khalwat haruslah mendapat perhatian khusus seiring banyaknya
pelanggaran yang terjadi.Memberantas khalwat adalah bagian dari memperjuangkan
tegaknya syariat Islam di Bumi Aceh.
Selain
itu ada juga beberapa tindak pidana lainnya yang diatur secara khusus melalui
Qanun tersendiri, seperti masalah khamar (mabuk-mabukan), maisir (perjudian),
dan beberapa perkara pidana lainnya seperti : zina, pemerkosaan, pelecehan
seksual, qazaf, liwath, musahaqah dan ikhtilath
yang kesemuanya itu menjadi wewenang penuh Mahkamah Syariah di wilayah hukum
setempat.
D.
Tentang Delik Jinayat
Delik Jinayat
mengharuskan subjek hukumnya adalah seorang mukallaf, baik ia laki-laki maupun
perempuan, sebab nantinya kepada mukallaf itulah dibebankan pertanggungjawaban
atas perbuatannya yang melanggar itu. Jika dalam pasal suatu Qanun kita dapati
penggunaan kata-kata ‘setiap orang’ maka maksudnya adalah setiap orang yang
sudah mukallaf dan merdeka sertadapat membedakan antara yang baik dan yang
buruk.
Penerimaan tanggung
jawab hukum akibat pelanggaran tindak pidana yang ia ciptakan haruslah
berasaskan sifat taklif, sehat akalnya sehingga mampu menentukan kehendaknya
(merdeka dan bisa memilih antara melakukan atau tidak melakukan) dan terhindar
dari paksaan-paksaan atau tekanan yang bersumber dari luar dirinya.
Hukum
pidana pada dasarnya mengikat seseorang untuk selalu menciptakan rasa aman dan
tentram; tentunya dengan tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran yang bisa
menimbulkan kekacauan yang bisa merugikan dirinya atau bahkan orang lain. Jika
ia seorang muslim maka kebutuhannya akan konsep delik jinayat sudahlah menjadi
kewajiban, sebab pertautan antara hukum jinayat dan terwujudnya syariat Islam
secara kaffah adalah hal yang krusial bagi dirinya, disamping itu hal demikian
juga termasuk ta’abbud nya kepada Allah SWT. Menghindari diri agar tidak
terjerembab dalam maksiat adalah ciri mukmin sejati dan bentuk keta’atannya
kepada Allah SWT.
Secara
khusus agama Islam telah menuntun umatnya ke arah itu, hukum jinayat bukanlah
semata-mata kausalitas sebab akibat, akan tetapi juga berguna sebagai tindakan
preventif ajaran agama agar muslim tidak menceburkan dirinya dalam perbuatan
yang dimurkai Allah SWT. Kemudian bila delik jinayat ini dikaitkan dengan
kehidupan sesama manusia tentunya akan kita temukan hikmah yang begitu besar di
sebalik adanya hukum dan hukuman tindak pidana jinayat ini, baik untuk subjek
hukum maupun orang lain.
Persoalan
khalwat dalam istilah pidana dikategorikan kepada delik formil, artinya
fokusnya ada pada persoalan kaitannya dengan undang-undang, dengan kata lain iaadalah
suatu perbuatan pidana yang sudah selesai dilakukan dan perbuatan itu mencocoki
rumusan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan.[4]
Dalam
persoalan khalwat tidaklah diharuskan adanya efek dari perbuatan tersebut, jika
suatu perbuatan –khalwat- misalnya sudah bertentangan dengan butir-butir Qanun
yang ada di Aceh, maka jelaslah si subjek hukum harus mendapatkan hukuman
sesuai ketentuan wilayah hukum tersebut di Aceh.Khalwat sebagai delik formil
lebih mengingat seseorang dengan teks atau aturan undang-undang, tindak pidana
khalwat tidak mengharuskan adanya efek yang ditimbulkan akibat perbuatan
khalwat itu sendiri, seperti hubungan suami istri, lahirnya anak di luar nikah,
kerugian materil, kehormatan keluarga terdakwa dan lain-lain. Delik formil
tidak berbicara sampai ke situ, tetapi lebih terkait kepada bentuk ‘melanggar’
dari aturan yang ada.Begitu pelanggaran itu terjadi dan unsur-unsurnya
terpenuhi, maka terdakwa sudah sah dijatuhi hukuman oleh pengadilan (mahkamah).
Dalam
delik jinayat khalwat ini terlihat ada semacam upaya preventif yang di
atur oleh Qanun Islam, pelarangan khalwat semata-mata adalah pencegahan agar
tidak terjerumus kepada zina; yang porsi maksiat dan hukuman yang diterima
nantinya akan lebih besar. Dalam istilah studi fiqh islam pelarangan ini di
dalam Ushul Fiqh dikenal dengan istilah Sadd al-Zari’ah, maksudnya
menutup celah agar tidak terjadi kejahatan yang lebih besar.[5]Jikalau
pintu menuju kepada zina ada pada khalwat, maka peluang terjadinya zina itu
sudah ditutup sejak dari pintu pertamanya (khalwat).
Hukum
agama dalam bentuk Syariat Islam, jikalau belum dibakukan secara resmi menjadi
hukum positif oleh pemerintah atau negara ianya hanyalah sebatas hukum
cita-cita, hukum cita-cita tidaklah punya kekuatan apa-apa dalam penerapannya
terhadap publik. Oleh karena itu patut diapresiasi usaha pemerintah Aceh untuk
memasukkan hukum-hukum islam ini –seperti persoalan khalwat, maisir dan khamar
- ke dalam hukum positif. Tujuannya tidak lain agar pelaksanaan Syariat Islam
di Aceh dapat dilaksanakan dengan sistematis, teratur dan punya landasan
terapan yang kuat di hadapan publik.
Hukum
dengan segala ketentuannya secara umum bertujuan menciptakan masyarakat yang
tentram, aman dan terjamin kenyamanannya.Hukum menjanjikan masyarakat yang
madani, dinamis dan modern.Begitu juga kaitannya dengan proses pelaksanaan
syari’at Islam di Aceh diatur sedemikian rupa guna mewujudkan masyarakat muslim
yang tertib hukum, sehingga tujuan penghambaan diri kepada Allah SWT dan
mengharapkan ridha-Nya dapat diwujudkan dengan baik.
Pelaksanaan hukum
berupaya untuk melindungi kepentingan umum terhadap perbuatan yang akan
merusaknya. Kemudian juga secara khusus hukum juga berfungsi sebagai Social Control (kontrol social) yang
bersifat subsidair, artinya penggunaan hukum barulah bisa diadakan apabila
upaya-upaya yang lain telah dilakukan dan dirasa kurang memadai.[6]
E.
Tentang Pembuktian
Berdasarkan fakta-fakta dan
penjelasan yang terungkap selama proses persidangan berlangsung terdakwa I dan
terdakwa II adalah pelaku yang merdeka, dalam artian tidak sedang dalam
pengaruh atau tekanan dan paksaan orang lain. Terdakwa I dan terdakwa II
dipandang cakap dari sisi lahir maupun batinnya, sehingga keduanya sah menjadi subjek
hukum yang dikenakan pidana. Dalam fiqh islam dan turunannya seperti yang ada
dalam Qanun-qanun pidana di Aceh sekarang, menjadikan status mukallaf sebagai
syarat utama dalam penjatuhan jerat hukum, kemudian perkara pidananya dilakukan
dengan sadar dan sukarela. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan utama dalam
kebanyakan dakwaan JPU atau pertimbangan dewan majelis hakim sendiri, sehingga
tak jarang kita dapati beberapa terdakwa biasanya akan terkurangi hukumannya
atau bahkanterlepas dari jeratan hukum karena ketiga unsur subjek hukum di atas
tidak ada secara lengkap pada diri terdakwa.
Berdasarkan pengakuan kedua terdakwa
I dan terdakwa II bahwa benar keduanya sepakat untuk makan malam di Terminal
Bus Takengon, tepatnya di Café November, selesai makan terdakwa I kemudian mengisi pulsa di salah satu Counter Hp.
Terdakwa I sehari-hari bekerja di RSU Munyang Kute Bener Meriah, sedangkan
terdakwa II yang baru tiba dari Blangkejeren mengajaknya makan malam, dari RSU
keduanya berangkat ke Café November dengan Mobil Avanza rental milik Afni
Mahara bin Nur Hasyim yang disewa oleh Terdakwa II. Selanjutnya terdakwa I juga
mengakui bertemu dengan Sabri Taryus ketika mengisi pulsa di Counter Hp dan
kemudian terjadilah pengejaran mobil yang digunakan terdakwa I dan terdakwa II
oleh saksi Sabri Taryus dan Saksi Muhammad Jali bin M. Saleh hingga keduanya
ditangkap di kampong Mongal. Kemudian yang terakhir keduanya terdakwa I dan
terdakwa II membantah telah melakukan tindak pidana mesum (Khalwat).
Jaksa Penuntut Umum menghadirkan 3
(tiga) orang saksi dalam persidangan. Yaitu saksi Afni Mahara bin Nur Hasyim,
Saksi Muhammad Jali bin M. Saleh dan saksi Sabri Taryus bin Saiful Bahri. Dari
keterangan saksi-saksi dapat diperoleh informasi sebagai berikut:
Saksi Afni Mahara bin Nur Hasyim
juga dipanggil ke persidangan karena tersangkut barang bukti Mobil Avanza
miliknya yang disewa oleh Terdakwa II. Saksi yang juga anggota polres Aceh
tengah ini mengaku tidak mengenal terdakwa I dan ia hanya kenal dengan terdakwa
II, ia tidak tahu menahu terkait peristiwa tindak pidana ini, ia baru tahu
ketika terdakwa II menelponnya dan memberi tahu bahwa mobil Avanza miliknya
telah ‘diamankan’ petugas.
Saksi Muhammad Jali bin M. Saleh
yang juga merupakan anggota polres Bener Meriah dalam penuturannya di hadapan
majelis hakim ia mengatakan bahwa ia kenal dengan kedua terdakwa dan terlibat
pengejaran terhadap mobil Avanza yang digunakan kedua terdakwa, setelah
sebelumnya bertemu rekannuya saksi Sabri Taryus dan juga merasa curiga dengan
terdakwa I dan terdakwa II. Selanjutnya saksi Muhammad Jali mengaku tidak
melihat apa yang terjadi di antara ke dua terdakwa di dalam mobil mereka ketika
proses kejar mengejar itu.
Saksi Sabri Taryus, mengenal dengan
baik terdakwa I karena merupakan istri dari rekannya Alwinsyah, sementara
terhadap terdakwa II ia tidak mengenalinya. Kemudian di Counter hp terminal
takengon ia disapa oleh terdakwa I dengan sapaan singkat, bang..lalu saksi
menanyakan dengan siapa? Kemudian terdakwa I menjawab dengan Saudara. Kemudian
saksi Sabri juga bertemu terdakwa II akan tetapi terdakwa II terlihat
ketakutan. Karena merasa curiga saksi Sabri Taryus bersama saksi Muhammad Jali
akhirnya membuntuti mobil tersebut dan terlibat kejar-kejaran.Saksi Taryus
menyuruh mereka berhenti akan tetapi para terdakwa tidak berhenti, hingga
akhirnya para terdakwa ditangkap di kampong Mongal dan digiring ke Mapolres.
Saksi Sabri Taryus diakhir penuturannya mengatakan bahwa penangkapan itu tidak
disertai dengan surat penangkapan.
Bahwa alat bukti dan barang bukti
yang diperoleh dari tangan terdakwaadalah sebuah foto para terdakwa dan 1
(satu) unit Mobil Avanza warna Silver Metalik Nopol.BL 557 GB.Kedua alat bukti
dan barang bukti di atas diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya
terhadap kedua terdakwa.Tuntutan JPU semakin kuat berdasarkan pada penuturan
saksi dan perolehan alat bukti dan barang bukti yang ada sehingga perbuatan
yang didakwakan telah sepenuhnya termasuk dalam kategori tindak pidana Khalwat
(mesum). Sedangkan tindak pidana khalwat ini telah diatur dalam Qanun no. 14
tahun 2003 provinsi Aceh, maka oleh JPU kedua terdakwa dengan dalil yang ada
telah melanggar Qanun tersebut, sebab perbuatan khalwat termasuk perbuatan yang
dilarang agama dan dilarang di Aceh melalui Qanun-Qanun yang ada.
F. Penanggungjawab
terjadinya delik
Delik khalwat yang dilakukan terdakwa I dan terdakwa II berlangsung
dalam keadaan sadar, normal dan rela.Oleh karena itu kepada keduanya dapat
dimintakan pertanggungjawabannya, karena keduanya dipandang mampu secara lahir
dan batin mengemban dakwaaan yang dijatuhkan.Terdakwa I dan terdakwa II
dipandang cakap dan mengerti akan resiko dan efek dari perbuatan mereka yang
bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku serta kemampuan mereka untuk
memunculkan perbuatan tersebut atau tidaknya, dalam arti kata perbuatan yang
dilakukan oleh kedua terdakwa adalah perbuatan sukarela dan suka sama suka
tanpa paksaan atau tekanan dari pihak manapun.
Qanun No. 14 tahun 2003 secara jelas menyebutkan bahwa
kegiatan khalwat meliputi seluruh rangkaian kegiatan yang bisa menjerumuskan
kepada zina, sedangkah khalwat sendiri dipandang sebagai pintu awal pembuka
terjadinya perbuatan zina.Oleh karena bagi setiap muslim mukallaf yang
melakukan khalwat dan dia berada di ranah hukum Syariat maka dianggap telah
melakukan tindak pidana pelanggaran Syariat. Kesalahan terdakwa I dan terdakwa
II bisa dipahami dari poin berikut; (1) Bepergian tanpa didampingi muhrim
;(2) Berdua-duaantanpa ikatan perkawinanketika di dalam mobil.
Jaksa Penuntut umum dalam dakwaannya sangat jelas menjatuhkan
dakwaan bersalah bersalah terhadap para terdakwa karena melanggar Qanun No. 14
tahun 2003, yaitu bahwa kedua diri terdakwa ada unsursubjek hukum yang sah,
yaitu terdakwa I dan terdakwa II adalah mukallaf atau dengan bahasa dalam Qanun
disebut dengan ‘setiap orang, kemudian tidak ditemukan kecacatan pada keduanya,
baik cacat lahir maupun cacat mental. Kemudian JPU menambahkan bahwa keduanya
telah bersunyi-sunyi dan tidak punya ikatan perkawinan yang sah, maka dengan
ini keduanya telah sah untuk didakwa melakukan pelanggaran terhadap Syariat
Islam, yaitu melakukan khalwat.
G. Tentang
Pertimbangan Hukum
Terdakwa telah memahami isi dakwaannya
seperti yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum, membenarkannya, dan tidak
keberatan atasnya.Akan tetapi menyangkal bahwa merekamelakukan perbuatan mesum.
Menurut terdakwa I dan terdakwa II mereka memang benar telah melakukan perjalan
ke Terminal Takengon dan makan malam berdua di Café November, akan tetapi tidak
melakukan perbuatan khalwat (mesum). Kemudian pengakuan terdakwa II
bahwa mereka bukan melarikan diri akan tetapi karena menghindar anggota
kepoisian yang mengejarnya.
Terdakwa I didampingi penasehat hukum dalam
persidangan, sedangkan terdakwa II tidak menyediakan atau didampingi penasehat
hukum.Penasehat hukum terdakwa I, Basyrah Hakim, SH. dalam pledo tertulis lebih
kurang menyatakan bahwa terdakwa I dan terdakwa II tidak terbukti secara sah
melakukan tindak pidana mesum sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum.Kemudian
penasehat hukum terdakwa meminta kepada majelis hakim membebaskan terdakwa dari
segala tuntutan hukum dan menetapkan agar biaya perkara dibebankan kepada
Negara.Dengan demikian pembelaannya terhadap terdakwa sudah cukup memadai.
Selanjutnya dalam pertimbangan majelis hakim, baik
setelah mendengar replik dari Jaksa Penuntut Umum dan duplik dari para
terdakwa, maka perlu disebutkan beberapa pertimbangan hukum dewan majelis hakim
yang tertera dari putusan tersebut:
1. Istilah
atau bunyi Pasal dalam Qanun dan putusan.
Hal
ini didasarkan pada dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum dalam pasal 22 ayat (2)
jo pasal 5 Qanun Provinsi Aceh No. 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum).
Benar sesuai dakwaan JPU bahwa terdakwa memiliki unsur subjek hukum, yaitu
beragam Islam, mukallaf, perbuatannya itu dilakukan secara sukarela dan tanpa
paksaan atau tekanan dari pihak lain. Akan tetapi dalam persidangan terungkap
bahwa tidak ada satupun saksi yang melihat terdakwa I dan terdakwa II berada di
suatu tempat yang bisa dianggap melakukan perbuatan khalwat.Kemudian
dalam putusan disebutkan istilah khalwat sebanyak 35 kali, mesum
sebanyak 18 kali, berdua-dua sebanyak 1 kali, bersunyi-sunyi sebanyak 5 kali.Sebenarnya
istilah-istilah tersebut dianggap memiliki pemahaman yang sama. Ada banyak
istilah yang digunakan oleh masyarakat Aceh ataupun yang dikenal oleh
masyarakat Indonesia secara umum.Intinya adalah segala perbuatan yang mengarah
kepada zina.
2. Dalam
putusan terlihat jelas bahwa terdakwa I dan terdakwa II sudah memahami dengan
sangat baik isi putusan walaupun dengan penggunaan Istilah-istilah berbeda
seperti yang disebutkan di atas. Terdakwa setuju dan tidak menyangkal kesaksian
yang disampaikan oleh para saksi dan replik Jaksa Penuntut Umum serta
membenarkan kronologi peristiwanya, akan tetapi para terdakwa menyangkal telah
melakukan perbuatan khalwat.
3. Para
terdakwa (terdakwa I) didampingi penasehat hukum. Ini mengindikasikan bahwa terdakwa
hukum keberatan dengan gugatan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum. Di dalam
persidangan terdakwa tidak menerima jika dikatakan telah melakukan khalwat.
Terdakwa I khususnya berusaha untuk mencari jalan agar dirinya bebas dari
dakwaan hukum dengan mendatangkan penasehat hukum. Apayang dilakukan oleh
terdakwa adalah usaha pembelaan terhadap dirinya; dengan melakukan duplik dari
repliknya Jaksa Penuntut Umum. Terdakwa keberatan atas tuduhan yang tidak
pernah dilakukannya.
4. Majelis
Hakim mempertimbangkan tentang dalil yang diungkapkan Jaksa Penuntut Umum yang
mendakwa terdakwa telah melakukan tindak pidana khalwat, JPU dalam dakwaannya
bahwa terdakwa I dan terdakwa II telah bersunyi-sunyi dengan tanpa ikatan
perkawinan. Menurut pertimbangan majelis hakim bahwa dalam kasus ini terdakwa I
dan terdakwa II tidak dapat dikatakan bersunyi-sunyi, sebab para terdakwa di
tangkap saat selesai makan di Café November dan setelah mengisi pulsa, tentunya
kegiatan terdakwa I dan II di lokasi itu tidaklah bisa dikatakan
bersunyi-sunyi. Terkecuali jika terdakwa sedang berduaan di suatu tempat yang
sunyi dan jauh dari keramaian. Jika yang didalilkan JPU adalah berdua-duan di
dalam perjalanan, maka majelis hakim mempertanyakan tentang berdua-duaan orang
lain dalam mobil atau motor bukan dengan suaminya. Mengapa tidak dilakukan
penangkapan? Jadi persoalan khalwat dalam kasus terdakwa I dan terdakwa II
apakah dilakukan di tempat yang sunyi atau sedang duduk berduaan atau tidak?
Kemudian mempertimbangkan juga bahwa dari saksi-saksi yang didatangkan oleh
Jaksa Penuntut Umum tidak satupun di antara mereka ada yang melihat langsung,
mendengar atau mengalaminya sendiri pidana khalwat yang dilakukan oleh para
terdakwa. Dengan demikian unsur-unsur tindak pidana khalwat dalam Qanun no. 14
tahun 2003 seperti yang didalilkan Jaksa Penuntut Umum tidak sepenuhnya
terpenuhi.[7]
5. Majelis
hakim mempertimbangkan bahwa foto terdakwa yang sedang bermesraan tidak dapat
dijadikan alat bukti. Karena kegiatan foto tersebut dilakukan bukan pada terjadinya
penangkapan, akan tetapi foto tersebut dilakukan jauh sebelum hari atau malam penangkapan.
Selain itu menurut pertimbangan majelis hakim foto para terdakwa bukanlah alat
bukti elektronik, melainkan hanya selembar foto biasa yang tidak menjadi alat
bukti.
6. Majelis
hakim mempertimbangkan dakwaan subsidair yang menyebutkan bahwa terdakwa telah
melanggar pasal 22 ayat (2) jo pasal 4 Qanun Provinsi Aceh No. 14 tahun 2003
bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan khalwat atau mesum yang hukumnya
haram. Menurut majelis hakim unsur-unsur pelanggaran tindak pidananya seperti
yang disebutkan dalam pasal tidak lengkap sebab keadaan mereka tidak
bersunyi-sunyi. Ditambah lagi tidak ada satupun saksi yang melihat, mendengar
dan mengalami sendiri bahwa terdakwa I dan terdakwa II telah melakukan
perbuatan khalwat (mesum).
7. Bahwa
tidak terpenuhi unsur pembuktian dalam dakwaan primair dan subsidair maka terdakwa
I dan terdakwa II harus dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
telah melakukan tindak pidana khalwat seperti yang didakwakan.Oleh karena itu
para terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut.
8. Bahwa
terdakwa I dan terdakwa II dibebaskan dari dakwaan maka segala hal yang
berkenaan dengan harkat martabat, nama baik, kemampuan dan kedudukan para
terdakwa harus dipulihkan, alat bukti yang berupa foto yang disita dari para
terdakwa dikembalikan ke para terdakwa, 1 (satu) unit Mobil Avanza Silver
metalik dikembalikan lagi ke pemiliknya dan seluruh biaya perkara dibebankan
kepada Negara.
H.
Penutup
Dalam kasus tindak pidana unsur-unsur pelaku dan
perbuatan yang ada didalamnya haruslah terpenuhi, jika tidak maka tidak dapat
dianggap melakukan tindak pidana dan para terdakwa harus dinyatakan bebas tanpa
syarat.Namun jika semua unsurnya terpenuhi maka dengan sangat jelas berarti
terdakwa telah melakukan tindak pidana.Akibat yang diterima nantinya karena
melakukan tindak pidana bersifat memaksa dan tidak ada tawar menawar.
Unsur-unsur tindak pidana ini haruslah mengacu
kepada ketentuan yang ada di dalam undang-undang atau Qanun tertentu sesuai
jenis perkaranya.Betapapun kuatnya dakwaan jaksa penuntut umum akandapat dikalahkan
dengan mencocokkan kebenarannya sesuai dengan yang tertera di dalam butir-butir
pasal dari suatu Undang-undang.
Kemudian pelaksanaan persidangannya dilimpahkan
kepada mahkamah syariah yang berada di tempat terjadinya perkara, sebab subjek
hukumnya terikat dalam batas wilayah hukum tertentu[8].Mahkamah
syariah kabupaten dan Kota dalam suatu wilayah provinsi berfungsi sebagai
pemutus hukum tingkat I, apabila nantinya ditemukan hal-hal yang memberatkan
terdakwa bisa mengajukan ke Mahkamah tingkat Provinsi.
Langkah-langkah penetapan hukum dan prosesinya
dianggap sebagai upaya menciptakan masyarakat yang sadar hukum agar ketentraman
dan kenyamanan dalam hidup bermasyarakat bisa diperoleh dengan baik.
------------------
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhailiy, Wahbah.Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, Damaskus: Dar al-Fikr, 1999.
Lamintang,Drs. P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,
Bandung: Sinar Baru, 1984.
Projodikoro,Wirjono.Hukum Acara Pidana di Indonesia, PT.
Sumur, Bandung, 1970
Ramdan, Arif. Aceh di Mata Orang
Sunda, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2007.
Remmelink,
Jan. Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003.
Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 tahun 2003TentangKhalwat (Mesum), Lembaran
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor27 Seri D Nomor 14
[1]Janji Soekarno kepada Gubernur
Militer Aceh, Abu Daud Beureueh, rujuk: Arif Ramdan, Aceh di Mata Urang Sunda, Bandar Publishing, 2007.Ketika di
awal-awal pengukuhan kemerdekaan Indonesia Presiden Soekarno meminta bantuan
kepada masyarakat Aceh.sebagai rasa terima kasihnya Soekarno menjanjikan hak
syariat Islam di Aceh di depan masyarakat Aceh dan Daud Beureueuh kala itu.
[2]Penulis tidak ingin membahas
tentang tuntutan politik dan pengelolaan kekayaan Aceh yang ada di dalamnya,
dikhawatirkan nantinya akan melebar. Fokus penulis adalah pada masalah tuntutan
pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
[3]Menyebutkan waktu dan tempat
secara pasti adalah hal yang tidak mudah, namun dua hal itu adalah hal yang
harus diketahui dan diusahakan penyebutannya dalam putusan, keduanya terkait
dengan persoalan locus delicti
(tempat terjadinya perkara) dan tempus
delicti (waktu terjadinya perkara).
[4]Delik formil adalah delik yang
dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh undang-undang.Rujuk; Drs. P.A.F. Lamintang,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia
(Bandung: Sinar Baru, 1984) hlm. 213.
[5]Wahbah al-Zuhailiy, Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh (Damaskus: Dar
al-Fikr, 1999) hlm.108
[6]Jan Remmelink, Hukum Pidana,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 15. Dalam penjelasannya Jan
Remmelink menyebutkan bahwa reaksi yang ditimbulkan hukum terhadap suatu pidana
haruslah seimbang dan bersifat adil, apabila belum ada kesesuaian atau terdapat
ketidakadilan maka hukum haruslah memberikan reaksi yang lain.
[7]Keterangan saksi juga berperan
sebagai alat bukti.Dalam hal ini keterangan yang bersumber dari saksi juga
harus diteliti dengan seksama, saksi yang berperan sebagai alat bukti tentu
tidak terlepas dari esensinya sebagai subjek hukum biasa, yang memungkinkan terjadinya
kesalahan dan keragu-raguan dalam ingatan dan reka keterangan. Seorang saksi
harus menceritakan hal yang sudah lampau, dan tergantung dari daya ingat dari
orang perseorang, apa itu dapat dipercaya atas kebenarannya. Lihat: Wirjono
Projodikoro, Hukum Acara Pidana di
Indonesia, PT. Sumur, Bandung, 1970, hal. 7.
[8]Pemberlakuan hukum berdasarkan
tempatnya, atau yang biasa dikenal dengan Asas
Teritorial atau Asas Wilayah; dalam
asas territorial pemberlakuan hukum tidak mempersoalkan siapa yang melakukan
tindak pidana di wilayah itu, akan tetapi pelaksanaan hukum didasarkan pada
batas territorial wilayah tertentu. Artinya siapapun dia, warga Indonesia atau
warga asing, muslim atau non muslim yang melakukan tindak pidana di wilayah
Aceh, akan dikenakan sanksi sesuai aturan (qanun) yang berlaku di Aceh.
No comments:
Post a Comment